Sudah menjadi sebuah pemandangan yang rutin bila setiap hari raya Idul Adha selalu dimanfaatkan oleh sebagian kaum yang mampu untuk berkurban dan berbagi, Sudah biasa pula bila kita lihat iring-iringan panjang hewan kurban yang akan dibagikan. Namun apakah pernah kita berfikir, antrian panjang pembagian hewan kurbanpun telah menjadi hal yang biasa di depan mata kita. Suatu kebiasaan yang berulang dan terus berulang tak bertepi.
Bukan antrian kurban yang menjadi masalah di Negara kita, namun hal yang sebenarnya terjadi dibalik layar antrian panjang tersebutlah yang harus kita telaah. Panjangnya antrian yang sampai beratus-ratus meter menjadi sebuah kisah yang memilukan bagi bangsa ini. Betapa tidak, kita yang dikenal sebagai Negara dengan kekayaan melimpah akhirnya harus tunduk dan mengantri daging yang bahkan beratnya tak sampai berkilo-kilo. Tragis memang, begitu banyak kepala harus berdesak-desakan dan bertaruh nyawa hanya untuk memuaskan keinginan untuk sekedar menyantap daging.
Tak perlu pula kita harus seperti Negara maju, yang harus memperhatikan berapa banyak jumlah daging yang dikonsumsi oleh rakyatnya guna memenuhi nilai standart konsumsi daging yang disarankan. Daging bukanlah masalah pokok di Negara ini, nasi yang notabene menjadi makanan pokok, namun keberadaan nasi bagi sebagian orang terkadang adalah sebuah hal yang mewah. Karena itu, tak heran bila daging kurban gratis selalu menjadi ajang perburuan yang rutin bagi bangsa kita.
Perputaran uang yang tak jelas tentunya akan memaksa kita untuk sedikit merambah ranah politik. Suatu area yang sensitif akan isu publik dan sarat akan kontroversi, di dalamnya disinyalir perpindahan uang berlangsung sangat cepat, baik dalam bentuk transaksi politik bahkan sampai tindak korupsi. Ketika masyarakat kita resah akan kelaparan dan kemiskinan yang tak kunjung reda, kalangan politisi kita malah asyik adu argument untuk membrangus UU KPK dan beradu intrik demi kelangsungan bisnisnya tak terganggu.
Berbagai persekongkolan elite politik untuk pelemahan kinerja KPK berangkat bukan hanya dari kecemasan namun juga kepanikan, suatu hal yang bertolak belakang dengan cerminan kehidupan bangsa yang tengah bergelut dengan kemiskinan. Ketika sebagian besar anak bangsa terancam putus sekolah, mereka terus memupuk harta yang mungkin bahkan takkan habis dinikmati. Parahnya lagi, berbagai upaya delegistimasi kerap kali justru datang dari DPR, institusi yang seharusnya menjadi payung dan tempat bernaung rakyat. Entah akan condong kemana Negara ini, para pengayom yang seharusnya menjadi panutan dan tempat berkeluh kesah kini malah gencar meneriakkan aneka serangan balik koruptor yang dimaksudkan untuk mengancam fondasi pemberantasan korupsi yang sedang dibangun.
Visi yang hanya berasal dari politisi dengan politik popularitas dan kesejahteraan hanya akan tergantung ditengah jalan. Ranah politik yang hanya menawarkan kandidat instan akan melahirkan elit politik yang buta. Sebagian besar waktu hanya akan terbuang untuk menyerap berbagai informasi yang tak didapatnya dari proses instan tersebut, akhirnya kaum-kaum lama kan tetap memegang permainan. Tanpa bisa banyak berbuat, politisi pemula harus mengikuti arus agar tidak tenggelam atau bahkan harus turut bermain untuk sekedar mengembalikan modal saat “menjual” dirinya pada publik.
Apakah Negara ini sudah begitu terpuruk hingga tak ada keinginan masyarakat yang dapat terkabul. Padahal menurut masyarakat, masalah yang terpenting yang harus segera diselesaikan adalah (1) pengangguran dan kemiskinan; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) korupsi (LSI 2009). Keinginan yang tak muluk-muluk dan merupakan hal yang sangat mendasar untuk mencapai Indonesia yang adil dan makmur seperti yang tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal yang tentunya menjadi kewajiban kita semua dan merupakan hal yang cukup mudah diwujudkan bila ada komitmen dari kita untuk melaksanakannya tanpa mendahulukan ego.
Namun bila meneropong kehidupan masyarakat saat ini, terdapat jurang pemisah yang begitu besar diantaranya. Cita-cita luhur itu mungkin hanya akan menjadi sebuah mimpi yang tak terealisasi dan harus dikubur dalam-dalam bila kepedulian ini tak dimulai dari diri kita. Sudah bukan saatnya lagi kita tutup mata dan cuci tangan akan penderitaan saudara kita. Negara Indonesia adalah amanat yang dititipkan untuk kita jaga. Bukan saatnya kita mengecewakan makin banyak orang dan terus berfikir tentang diri kita sendiri. Inilah waktu kita untuk bangkit dan peduli nasib mereka. Indonesia adalah milik kita semua, bukan saya, dia, atau mereka.[Hendra Setiawan]
Bukan antrian kurban yang menjadi masalah di Negara kita, namun hal yang sebenarnya terjadi dibalik layar antrian panjang tersebutlah yang harus kita telaah. Panjangnya antrian yang sampai beratus-ratus meter menjadi sebuah kisah yang memilukan bagi bangsa ini. Betapa tidak, kita yang dikenal sebagai Negara dengan kekayaan melimpah akhirnya harus tunduk dan mengantri daging yang bahkan beratnya tak sampai berkilo-kilo. Tragis memang, begitu banyak kepala harus berdesak-desakan dan bertaruh nyawa hanya untuk memuaskan keinginan untuk sekedar menyantap daging.
Tak perlu pula kita harus seperti Negara maju, yang harus memperhatikan berapa banyak jumlah daging yang dikonsumsi oleh rakyatnya guna memenuhi nilai standart konsumsi daging yang disarankan. Daging bukanlah masalah pokok di Negara ini, nasi yang notabene menjadi makanan pokok, namun keberadaan nasi bagi sebagian orang terkadang adalah sebuah hal yang mewah. Karena itu, tak heran bila daging kurban gratis selalu menjadi ajang perburuan yang rutin bagi bangsa kita.
Perputaran uang yang tak jelas tentunya akan memaksa kita untuk sedikit merambah ranah politik. Suatu area yang sensitif akan isu publik dan sarat akan kontroversi, di dalamnya disinyalir perpindahan uang berlangsung sangat cepat, baik dalam bentuk transaksi politik bahkan sampai tindak korupsi. Ketika masyarakat kita resah akan kelaparan dan kemiskinan yang tak kunjung reda, kalangan politisi kita malah asyik adu argument untuk membrangus UU KPK dan beradu intrik demi kelangsungan bisnisnya tak terganggu.
Berbagai persekongkolan elite politik untuk pelemahan kinerja KPK berangkat bukan hanya dari kecemasan namun juga kepanikan, suatu hal yang bertolak belakang dengan cerminan kehidupan bangsa yang tengah bergelut dengan kemiskinan. Ketika sebagian besar anak bangsa terancam putus sekolah, mereka terus memupuk harta yang mungkin bahkan takkan habis dinikmati. Parahnya lagi, berbagai upaya delegistimasi kerap kali justru datang dari DPR, institusi yang seharusnya menjadi payung dan tempat bernaung rakyat. Entah akan condong kemana Negara ini, para pengayom yang seharusnya menjadi panutan dan tempat berkeluh kesah kini malah gencar meneriakkan aneka serangan balik koruptor yang dimaksudkan untuk mengancam fondasi pemberantasan korupsi yang sedang dibangun.
Visi yang hanya berasal dari politisi dengan politik popularitas dan kesejahteraan hanya akan tergantung ditengah jalan. Ranah politik yang hanya menawarkan kandidat instan akan melahirkan elit politik yang buta. Sebagian besar waktu hanya akan terbuang untuk menyerap berbagai informasi yang tak didapatnya dari proses instan tersebut, akhirnya kaum-kaum lama kan tetap memegang permainan. Tanpa bisa banyak berbuat, politisi pemula harus mengikuti arus agar tidak tenggelam atau bahkan harus turut bermain untuk sekedar mengembalikan modal saat “menjual” dirinya pada publik.
Apakah Negara ini sudah begitu terpuruk hingga tak ada keinginan masyarakat yang dapat terkabul. Padahal menurut masyarakat, masalah yang terpenting yang harus segera diselesaikan adalah (1) pengangguran dan kemiskinan; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) korupsi (LSI 2009). Keinginan yang tak muluk-muluk dan merupakan hal yang sangat mendasar untuk mencapai Indonesia yang adil dan makmur seperti yang tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal yang tentunya menjadi kewajiban kita semua dan merupakan hal yang cukup mudah diwujudkan bila ada komitmen dari kita untuk melaksanakannya tanpa mendahulukan ego.
Namun bila meneropong kehidupan masyarakat saat ini, terdapat jurang pemisah yang begitu besar diantaranya. Cita-cita luhur itu mungkin hanya akan menjadi sebuah mimpi yang tak terealisasi dan harus dikubur dalam-dalam bila kepedulian ini tak dimulai dari diri kita. Sudah bukan saatnya lagi kita tutup mata dan cuci tangan akan penderitaan saudara kita. Negara Indonesia adalah amanat yang dititipkan untuk kita jaga. Bukan saatnya kita mengecewakan makin banyak orang dan terus berfikir tentang diri kita sendiri. Inilah waktu kita untuk bangkit dan peduli nasib mereka. Indonesia adalah milik kita semua, bukan saya, dia, atau mereka.[Hendra Setiawan]
Komentar
Posting Komentar