Saya rasa kita ini adalah mahasiswa, entah apa yang berbeda, namun yang jelas tiap orang pasti berbeda-beda. Bila hari ini saya berfikir bahwa saya harus bangun dan mulai berbenah, mungkin. Tentunya hal ini akan berbeda dengan tiap-tiap manusia lainnya meski kita sama-sama mahasiswa. Ada yang berfikir dan membuka mata hanya untuk makan, ada yang berfikir untuk menghadapi kekangan belenggu akademis, dan mungkin ada pula yang langsung berfikir untuk mengawali hari dengan hal yang bejat, tak menuutp kemungkinan dan semua itu sah-sah saja.
Tetapi melihat realitas yang sebenarnya, saya merasa kita seakan hanya terjebak dalam pola kemandekan kerangka positivis yang tak bisa dibantah kebenarannya dengan nalar logis. Bukankah kampus merupakan sumber mata air dan oase di lahan yang tandus guna memuaskan dahaga dalam “lingkaran kebodohan”. Seakan harus memutar ulang semua memori di otak, bukankah ilmu tak hanya harus didapat dari akademis? Namun mengapa hal ini berkebalikan dengan realita yang kini tampak di mata saya, entah hanya pribadi atau apalah, yang jelas hal ini sangat mengganggu.
Kini “pendidikan” seakan hanya menjadi seekor kambing hitam yang siap dikorbankan dan terjebak dalam sebuah nalar yang sempit. Atas nama pendidikan, maka kita seakan ditakdirkan untuk berjalan di dalam kampus dengan langkah tegap, berdasi, lengkap dengan setelan jas yang rapi. Janganlah kamu tidak berseragam lengkap, sebab kita ini mahasiswa intelektual yang terdidik. Jangan pula kamu memakai sarung ataupun kaos, sebab kita bukan orang udik.
Begitu banyak mahasiswa, maka kamu harus tampil beda dengan gaya yang masih fashionable, jangan jadul sebab kampus tidak menampung orang yang memalukan. Bila kamu merasa mahasiswa, maka berjalanlah ke kampus dengan wajah yang terangkat sambil membawa semua laptopmu. Jinjinglah laptop itu karena kamu adalah mahasiswa yang baik dan rajin, namun jangan lupa, isi pula dengan tembang-tembang hits dan film terbaru agar semua orang berteriak histeris.
Menggerutu dan menjamah ranah yang tak ada kaitannya dengan akademis dan euphoria kemegahan bukanlah jalan mahasiswa. Tak perlu sudah kita pasang muka sedih untuk berfikir tentang orang lain, toh belum tentu mereka memikirkan kita. Ikuti saja titah dan perkataan dari yang “diatas” tanpa perlu bersikap kritis seakan itu adalah firman dari langit. Bila yang lain harus bermandi peluh karena menuntut kenaikan gaji buruh, diam saja di ruangan yang dingin. Cukup dengan menonton TV di ruangan ber-AC lalu bertepuk riuh, berarti kita telah membantu perjuangan mereka. Sikap kepedulian juga harus sedikit dipenjarakan, agar hidup hedonis ini tak terganggu.
Tak lengkap kamu menjadi mahasiswa tanpa duduk dengan wajah tertutup buku. Bila perlu, makanlah buku-buku kumal itu agar kamu tampak semakin cerdas. Bila dosen menerangkan, ingatlah baik-baik dan hafal dengan cermat setiap kalimatnya. Sudah lengkap kamu menjadi mahasiswa teladan yang intelektual. Tak perlulah yang namanya berorganisasi itu. Cukup saja kamu kuliah dan bila masih ingin mencoba., maka masuklah dan titip nama saja di sana. Dengan terpampang dalam struktural yang berdebu berteriaklah dengan bangga, “Saya ini Mahasiswa Intelektual yang Sukses”.
Jangan terlalu berharap banyak pada orang lain, itulah kabar kampusku hari ini. Semakin lama maka mahasiswa semakin maju dan terkungkung dengan persepsi dalam pendidkan yang berkualitas. Kita berbicara tentang akreditasi yang baik, A, B, C, D, E, dan seterusnya dengan sistem birokratik kolonial yang apik. Semua menjadi yang terbaik tanpa kita perlu bersusah payah dengan hal lain yang dirasa tak begitu penting, macam organisasi dan sebagainya. Semua seakan hanya menjadi sebuah selingan. Padahal akan menjadi lebih baik bila semua dilakukan tanpa perlu berfikir untuk setengah-setengah.
Kita seakan tak peduli lagi dengan diri kita apakah nantinya juga akan bermanfaat bagi orang lain. Tak perlu berfikir jauh ke depan karena telah terjamin dalam dunia intelektual yang megah. Entah akan menjadi seorang presiden, birokrat, pedagang bakso, tukan semir sepatu, atau tukang becak, yang jelas semuanya telah sukses tercetak dalam wadah yang mapan. Asalakan tidak menjadi seorang penipu dan pencuri bagi bangsanya sendiri itu tidak masalah.
Ya, doaku cuma agar kita tak tertipu kelak dalam pilihan yang telah kita buat. Saat ini hari belum usai, masih ada waktu untuk berbenah.[Hendra Setiawan]
Tetapi melihat realitas yang sebenarnya, saya merasa kita seakan hanya terjebak dalam pola kemandekan kerangka positivis yang tak bisa dibantah kebenarannya dengan nalar logis. Bukankah kampus merupakan sumber mata air dan oase di lahan yang tandus guna memuaskan dahaga dalam “lingkaran kebodohan”. Seakan harus memutar ulang semua memori di otak, bukankah ilmu tak hanya harus didapat dari akademis? Namun mengapa hal ini berkebalikan dengan realita yang kini tampak di mata saya, entah hanya pribadi atau apalah, yang jelas hal ini sangat mengganggu.
Kini “pendidikan” seakan hanya menjadi seekor kambing hitam yang siap dikorbankan dan terjebak dalam sebuah nalar yang sempit. Atas nama pendidikan, maka kita seakan ditakdirkan untuk berjalan di dalam kampus dengan langkah tegap, berdasi, lengkap dengan setelan jas yang rapi. Janganlah kamu tidak berseragam lengkap, sebab kita ini mahasiswa intelektual yang terdidik. Jangan pula kamu memakai sarung ataupun kaos, sebab kita bukan orang udik.
Begitu banyak mahasiswa, maka kamu harus tampil beda dengan gaya yang masih fashionable, jangan jadul sebab kampus tidak menampung orang yang memalukan. Bila kamu merasa mahasiswa, maka berjalanlah ke kampus dengan wajah yang terangkat sambil membawa semua laptopmu. Jinjinglah laptop itu karena kamu adalah mahasiswa yang baik dan rajin, namun jangan lupa, isi pula dengan tembang-tembang hits dan film terbaru agar semua orang berteriak histeris.
Menggerutu dan menjamah ranah yang tak ada kaitannya dengan akademis dan euphoria kemegahan bukanlah jalan mahasiswa. Tak perlu sudah kita pasang muka sedih untuk berfikir tentang orang lain, toh belum tentu mereka memikirkan kita. Ikuti saja titah dan perkataan dari yang “diatas” tanpa perlu bersikap kritis seakan itu adalah firman dari langit. Bila yang lain harus bermandi peluh karena menuntut kenaikan gaji buruh, diam saja di ruangan yang dingin. Cukup dengan menonton TV di ruangan ber-AC lalu bertepuk riuh, berarti kita telah membantu perjuangan mereka. Sikap kepedulian juga harus sedikit dipenjarakan, agar hidup hedonis ini tak terganggu.
Tak lengkap kamu menjadi mahasiswa tanpa duduk dengan wajah tertutup buku. Bila perlu, makanlah buku-buku kumal itu agar kamu tampak semakin cerdas. Bila dosen menerangkan, ingatlah baik-baik dan hafal dengan cermat setiap kalimatnya. Sudah lengkap kamu menjadi mahasiswa teladan yang intelektual. Tak perlulah yang namanya berorganisasi itu. Cukup saja kamu kuliah dan bila masih ingin mencoba., maka masuklah dan titip nama saja di sana. Dengan terpampang dalam struktural yang berdebu berteriaklah dengan bangga, “Saya ini Mahasiswa Intelektual yang Sukses”.
Jangan terlalu berharap banyak pada orang lain, itulah kabar kampusku hari ini. Semakin lama maka mahasiswa semakin maju dan terkungkung dengan persepsi dalam pendidkan yang berkualitas. Kita berbicara tentang akreditasi yang baik, A, B, C, D, E, dan seterusnya dengan sistem birokratik kolonial yang apik. Semua menjadi yang terbaik tanpa kita perlu bersusah payah dengan hal lain yang dirasa tak begitu penting, macam organisasi dan sebagainya. Semua seakan hanya menjadi sebuah selingan. Padahal akan menjadi lebih baik bila semua dilakukan tanpa perlu berfikir untuk setengah-setengah.
Kita seakan tak peduli lagi dengan diri kita apakah nantinya juga akan bermanfaat bagi orang lain. Tak perlu berfikir jauh ke depan karena telah terjamin dalam dunia intelektual yang megah. Entah akan menjadi seorang presiden, birokrat, pedagang bakso, tukan semir sepatu, atau tukang becak, yang jelas semuanya telah sukses tercetak dalam wadah yang mapan. Asalakan tidak menjadi seorang penipu dan pencuri bagi bangsanya sendiri itu tidak masalah.
Ya, doaku cuma agar kita tak tertipu kelak dalam pilihan yang telah kita buat. Saat ini hari belum usai, masih ada waktu untuk berbenah.[Hendra Setiawan]
Komentar
Posting Komentar