Aku adalah penjaja buku ujian SNMPTN. Aku biasanya duduk menggelar dagangan beralaskan tikar. Aku selalu ada menghiasi momen tahunan itu. Siapakah aku?
Namaku Bung Ngadiman Ngadimpret, sebut saja Bunga. Seperti disebutkan di atas, aku adalah seorang penjaja buku latihan SNMPTN. Sebagai pedagang, aku memiliki talenta yang luar biasa untuk memikat pembeli. Maklumlah, aku adalah blasteran jadi memiliki bakat setengah-setengah. Aku terlahir dari ibu pedagang dan ayah tentara. Jadi, dalam menjajakan buku aku juga terkesan setengah-setengah, setengah merayu dan setengan menodong. Hasilnya, ya juga setengah-setengah, setengah berhasil, sebagian besar dihajar.
Ketika SNMPTN online begemuruh diteriakkan, tentu saja aku terkena imbas yang tak dapat dihindari. Mau tak tau aku yang hanya seorang rakyat jelata harus mengikuti juga. Mereka beralasan kalo sistem baru ini mempermudah calon mahasiswa baru untuk melaksanakan pendaftaran tanpa ruwet dan berjubel di tengah teriknya sang mentari siang. Tapi apakah mereka pernah berfikir tentang aku dan orang sebangsaku yang senasib, sepertinya tidak. Bila dulu kami bisa berjualan dengan beralaskan tikar dan kertas hasil fotokopian yang dijilid ala kadarnya, saat ini jelas tidak mungkin. Bayangkan saja, mau dijual kemana? Masa mau dijual pake sistem online juga? Saya ini gaptek, boro-boro internet dan ATM, komputer aja baru tau. Selain itu sudah jelas tak mungkin kami menjual fotokopian komputernya, aneh bin ajaib.
Bukan hanya aku, banyak nasib serupa dengan hal tersebut. Sebut saja Turnadi, seorang siswa lulusan SMA di desa sugih waras, kecamatan anti melarat. Dia yang notabenenya orang berpendidikan masih saja tertipu oleh calo yang kini kian merebak. Niat awalnya sih katanya menolong, tapi kok malah ditodong? Kalo dulu semua bisa sama rata berpanas-panas ria, nah sekarang sepertinya yang kota tambah gaul dan yang desa tambah gaptek. Bisa-bisa malah mereka gak jadi daftar SNMPTN. Tapi melihat keadaan yang sedang marak, sepertinya bisnis percaloan dan copet online yang akan marak. Apa saya ikutan aja ya?
Ini adalah sebagian curahan hatiku sebagai seorang pedagang. Bukannya aku gak mau mengikuti pemerintah dan mendukung kinerja yang terus ditingkatkan. Tapi ya mbok dilihat dululah masyarakatnya itu, sudah siap apa belum. Jangan sampai karena merasa gaptek malah gantung diri.
Seperti biasa, siang itu aku mencoba untuk merasakan lambaian lembut rumput bergoyang, harumnya semerbak bunga, dan kencangnya angin puyuh. Aku mencoba mencari berbagai informasi tentang pekerjaanku yang biasa tahunan ini, siapa tau ada rejeki. Namun malang nian nasibku, bagaimana tidak, hari pendaftaran dibeberapa gedung yang biasanya ramai sekarang sepi melompong, hanya ada tukang bersih-bersih. Bila dihari-hari pendaftaran biasa, bangunan sealu dihiasi dengan hiruk pikuk pembeli dan segarnya wangi uang, kini malah kosong melompong. Semua hampa, dan hanya tergantikan oleh selembar spanduk bertuliskan ”Informasi SNMPTN dapat menghubungi Gedung Ini Itu Kesana Kemari”. Terus harus kemana mencari tempat berjualan.
Jujur saat itu aku bingung harus diapakan nasib lembaran soal yang sudah menggunung itu. Bukannya tanpa biaya, aku juga harus terpaksa menjual sapi pemberian kakek buyutku sebagai modal berjualan (sebagian di pake buat benerin rumah sih). Yang jelas tentunya pasti harga diriku langsung anjlok bila pulang tanpa sejuta uangpun. Namun apa daya kaki tak sampai, bubur sudah menjadi nasi. Yah terpaksa harus memanfaatkan apa yang ada dengan sebaik-baiknya. Sempat ku berfikir mengutuki mereka dalam hati. Merteka seenaknya saja mengambil aset dagangan orang hanya dengan alasan kemudahan. Tapi sebenarnya mereka tak pernah berfikir tentang orang-orang sepertiku. Mereka hanya saling beradu opini tanpa melihat berbagai aspek lain. Tak pernah mereka saling introspeksi, semuamnya hanya berlatar belakang uang. Kalo mereka cuma duduk di kursi yang megah dan empuk lalu dengan gampangnya mengubah sistem ini, apa aku yang duduk di atas tikar ini gak boleh cari uang juga? Tapi itu lain cerita, semua hanya terbesit sekejap dalam fikiran. Aku segera mencoba mencari peluang lain, sepertinya mulai saat ini aku harus lebih sering bercengkerama dengan internet.
Sepertinya dunia internet kini menawarkan beragam kemudahan dan kenyamanan, tentuntya pasarnya akan semakin bersinar seiring berjalannya waktu. Pasar online kini semakin marak, mulai dari bedak, kaos, celana dalam, sampai cangkul juga ada. Barangkali beberapa bulan kedepan jual beli bakso dan mie ayam online juga sudah bisa. Karena itu tak mungkin rasanya bila aku menyalahkan sistem yang telah berjalan dan dirancang dengan sempurna. Sepertinya yang harus mengalah adalah aku sendiri. Yah sudahlah, kertasnya mungkin bernasib kurang baik, berakhir di warung sebagai bungkus cabai dan tomat. Nah, mulai sekarang aku harus mulai berfikir dan mencoba untuk akrab dengan yang namanya online biar gak jadi korban peradaban. Kalian juga! [Didik Pribadi]
Namaku Bung Ngadiman Ngadimpret, sebut saja Bunga. Seperti disebutkan di atas, aku adalah seorang penjaja buku latihan SNMPTN. Sebagai pedagang, aku memiliki talenta yang luar biasa untuk memikat pembeli. Maklumlah, aku adalah blasteran jadi memiliki bakat setengah-setengah. Aku terlahir dari ibu pedagang dan ayah tentara. Jadi, dalam menjajakan buku aku juga terkesan setengah-setengah, setengah merayu dan setengan menodong. Hasilnya, ya juga setengah-setengah, setengah berhasil, sebagian besar dihajar.
Ketika SNMPTN online begemuruh diteriakkan, tentu saja aku terkena imbas yang tak dapat dihindari. Mau tak tau aku yang hanya seorang rakyat jelata harus mengikuti juga. Mereka beralasan kalo sistem baru ini mempermudah calon mahasiswa baru untuk melaksanakan pendaftaran tanpa ruwet dan berjubel di tengah teriknya sang mentari siang. Tapi apakah mereka pernah berfikir tentang aku dan orang sebangsaku yang senasib, sepertinya tidak. Bila dulu kami bisa berjualan dengan beralaskan tikar dan kertas hasil fotokopian yang dijilid ala kadarnya, saat ini jelas tidak mungkin. Bayangkan saja, mau dijual kemana? Masa mau dijual pake sistem online juga? Saya ini gaptek, boro-boro internet dan ATM, komputer aja baru tau. Selain itu sudah jelas tak mungkin kami menjual fotokopian komputernya, aneh bin ajaib.
Bukan hanya aku, banyak nasib serupa dengan hal tersebut. Sebut saja Turnadi, seorang siswa lulusan SMA di desa sugih waras, kecamatan anti melarat. Dia yang notabenenya orang berpendidikan masih saja tertipu oleh calo yang kini kian merebak. Niat awalnya sih katanya menolong, tapi kok malah ditodong? Kalo dulu semua bisa sama rata berpanas-panas ria, nah sekarang sepertinya yang kota tambah gaul dan yang desa tambah gaptek. Bisa-bisa malah mereka gak jadi daftar SNMPTN. Tapi melihat keadaan yang sedang marak, sepertinya bisnis percaloan dan copet online yang akan marak. Apa saya ikutan aja ya?
Ini adalah sebagian curahan hatiku sebagai seorang pedagang. Bukannya aku gak mau mengikuti pemerintah dan mendukung kinerja yang terus ditingkatkan. Tapi ya mbok dilihat dululah masyarakatnya itu, sudah siap apa belum. Jangan sampai karena merasa gaptek malah gantung diri.
Seperti biasa, siang itu aku mencoba untuk merasakan lambaian lembut rumput bergoyang, harumnya semerbak bunga, dan kencangnya angin puyuh. Aku mencoba mencari berbagai informasi tentang pekerjaanku yang biasa tahunan ini, siapa tau ada rejeki. Namun malang nian nasibku, bagaimana tidak, hari pendaftaran dibeberapa gedung yang biasanya ramai sekarang sepi melompong, hanya ada tukang bersih-bersih. Bila dihari-hari pendaftaran biasa, bangunan sealu dihiasi dengan hiruk pikuk pembeli dan segarnya wangi uang, kini malah kosong melompong. Semua hampa, dan hanya tergantikan oleh selembar spanduk bertuliskan ”Informasi SNMPTN dapat menghubungi Gedung Ini Itu Kesana Kemari”. Terus harus kemana mencari tempat berjualan.
Jujur saat itu aku bingung harus diapakan nasib lembaran soal yang sudah menggunung itu. Bukannya tanpa biaya, aku juga harus terpaksa menjual sapi pemberian kakek buyutku sebagai modal berjualan (sebagian di pake buat benerin rumah sih). Yang jelas tentunya pasti harga diriku langsung anjlok bila pulang tanpa sejuta uangpun. Namun apa daya kaki tak sampai, bubur sudah menjadi nasi. Yah terpaksa harus memanfaatkan apa yang ada dengan sebaik-baiknya. Sempat ku berfikir mengutuki mereka dalam hati. Merteka seenaknya saja mengambil aset dagangan orang hanya dengan alasan kemudahan. Tapi sebenarnya mereka tak pernah berfikir tentang orang-orang sepertiku. Mereka hanya saling beradu opini tanpa melihat berbagai aspek lain. Tak pernah mereka saling introspeksi, semuamnya hanya berlatar belakang uang. Kalo mereka cuma duduk di kursi yang megah dan empuk lalu dengan gampangnya mengubah sistem ini, apa aku yang duduk di atas tikar ini gak boleh cari uang juga? Tapi itu lain cerita, semua hanya terbesit sekejap dalam fikiran. Aku segera mencoba mencari peluang lain, sepertinya mulai saat ini aku harus lebih sering bercengkerama dengan internet.
Sepertinya dunia internet kini menawarkan beragam kemudahan dan kenyamanan, tentuntya pasarnya akan semakin bersinar seiring berjalannya waktu. Pasar online kini semakin marak, mulai dari bedak, kaos, celana dalam, sampai cangkul juga ada. Barangkali beberapa bulan kedepan jual beli bakso dan mie ayam online juga sudah bisa. Karena itu tak mungkin rasanya bila aku menyalahkan sistem yang telah berjalan dan dirancang dengan sempurna. Sepertinya yang harus mengalah adalah aku sendiri. Yah sudahlah, kertasnya mungkin bernasib kurang baik, berakhir di warung sebagai bungkus cabai dan tomat. Nah, mulai sekarang aku harus mulai berfikir dan mencoba untuk akrab dengan yang namanya online biar gak jadi korban peradaban. Kalian juga! [Didik Pribadi]
Komentar
Posting Komentar