Era globalisasi sekarang ini membuat pola hidup “Konsumsi” masyarakat semakin tinggi. Tiap hari libur (sabtu dan minggu) mal-mal, departement store, toko-toko ternama, pusat grosir dan kawan-kawannya selalu dijejali pengunjung. Produsen alias sang Kapital sangat diuntungkan dengan adanya pola hidup masyarakat yang berkembang dan menjamur hebat ini. Bermacam produk dengan label-label ternama dan masih gres menjadi sasaran utama masyarakat konsumtif.
Jember yang notabene pusat perbelanjaannya dapat dihitung dengan jari selalu ramai disesaki masyarakat pada hari-hari libur. Entah mereka memang membeli atau sekedar cuci mata, refreshing sembari melepas penat karena rutinitas yang padat. Lalu kenapa pasar tradisional, pasar murah alias pasar barang bekas bos (BaBeBo) selalu jadi alternatif kedua setelah pasar-pasar yang ternama tersebut, apa alasannya?
Iklan, promosi, selebaran dan gosip dari kuping ke kuping selalu menegaskan bahwa barang bagus hanya ada di pusat perbelanjaan ternama, harganya mahal, merk/label terkenal, kegunaan dari barang tersebut menjadi urutan terakhir sehingga pasar tradisional, pasar barang bekas (BaBeBo) semakin terpinggirkan. Nilai guna dari suatu produk/barang tak dipikirkan secara cermat, nilai prestisius yang selalu dikejar. Konstruk iklan suatu produk baik dari televisi, radio, dan media cetak membuat masyarakat tak jeli lagi dalam mengkonsumsi suatu produk.
Minimnya dana dan area yang sangat sederhana membuat pasar BaBeBo sulit bersaing dengan pusat perbelanjaan megah tercermin dari bangunan yang bertingkat-tingkat, lampu warna-warni, pendingin ruangan ditambah pemanis berupa perempuan cantik dan lelaki tampan sebagai bagian dari bangunan megah tersebut. Namun secara langsung itulah kelebihan dan senjata utama dari pasar alternatif.
Pasar tradisional, pasar barang bekas (BaBeBo) merupakan pasar murah bagi masyarakat umum dan menjadi incaran utama para mahasiswa. Bermacam produk ditawarkan dan dijual dengan harga yang sangat terjangkau seperti pakaian, buku, alat-alat dapur, aksesoris motor dll. Tempat transaksi pembeli dan penjual pun cukup sederhana seperti di daerah Mangli, Rambipuji, Gebang dan pasar Tanjung. Barang bekas yang masih layak pakai dan –juga bila kita cermat memilah dan memilih toh nanti kita juga akan dapat barang baru dan berlabel ternama.
Pasar ternyata bisa menjadi suatu indikator kesenjangan sosial yang begitu lebar. Gambaran itu terlihat jelas sekali dan kita tak dapat menyangkalnya, setidaknya masih ada alternatif bagi masyarakat cerdas yang tak mau ikut terjebak dalam pola hidup barat ini. Pilihan sekarang ada di tangan dan kaki kita, apa kita akan tetap hanyut dalam arus konsumtif yang semakin menjamur, atau kita menjadi lebih cerdas tanpa harus mengikuti arus tersebut. Perang antara Tradisional vs Modern selalu dan terus akan terjadi, tinggal kita sendiri mau memihak yang mana. Terakhir dan yang paling penting jangan percaya begitu saja pada iklan dan segala embel-embel yang ditawarkan oleh suatu produk, kita harus mengeceknya dengan mata kepala sendiri dan kalau perlu kita uji terlebih dahulu.[redaksi]
Komentar
Posting Komentar