Pemilihan rektor yang baru sudah dekat. Nasib warga akademik UNEJ khususnya mahasiswa empat tahun mendatang ditentukan oleh hasil dari pemilihan tersebut. Sebagai mahasiswa sudah sepatutnya kita peduli nasib kita sendiri, dan berharap ajang pemilihan rektor tahun ini bisa memberikan hasil yang terbaik. Jangan sampai rektor yang terpilih nanti adalah rektor yang korup dan anti mahasiswa. Banyak pihak terlibat dalam event tersebut, tetapi hanya tidak ada mahasiswanya. Jadi kita tidak ikut memilih? Ya memang “TIDAK SAMA SEKALI” , hanya senat saja yang ikut serta. Bahkan DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) pun tidak ikut memilih. Intinya nasib kita bergantung pada keputusan senat nanti.
Pemilihan
rektor tersebut hanya dapat dihadiri oleh anggota senat saja, dengan alasan
pemilihan rektor tersebut sifatnya tertutup. Tetapi mahasiswa mencium adanya
kecurangan dan politik uang dalam pemilihan rektor tersebut. Anggota senat di
sini yang jelas yaitu semua dosen setingkat guru besar atau profesor ataupun
dosen perwakilan yang ditunjuk oleh dekan setiap fakultas.
Seharusnya kita yang terhitung sebagai bagian dari warga atau civitas resmi di UNEJ yang notabene mempunyai hak dalam pemilu, juga berhak memiliki dalam pemilihan rektor tersebut, karena negara ini menganut paham demokrasi. Dengan berlandaskan pada sistem sistem pendidikan tinggi (intelektualitas), universitas merupakan tempat awal mula menciptakan suasana demokrasi baik di dalam atau di luar institusi. Akan tetapi mau bagaimana lagi, dalam hak-hak mahasiswa untuk ikut dalam pemilihan tidak tertulis secara jelas atau mungkin tidak ada. Upaya untuk memberikan keleluasaan pada mahasiswa antara lain tertuang dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998, yang menyatakan:
Organisasi Kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari,
oleh, dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar
kepada mahasiswa.
Adapun campur tangan mahasiswa adalah hanya sampai organisasi kemahasiswaan saja. Dua lembaga organisasi mahasiswa DPM dan BEM, merekalah garis depan atau front demokrasi kita (mahasiswa). Seharusnya dalam pemilihan rektor paling tidak harus ada perwakilan dari mahasiswa, baik itu dari DPM ataupun BEM. Hal ini agaknya sesuai jika mengacu pada proses penyelenggaraan pemerintahan negara kita di mana rakyat pun diwakili oleh dewan permusyawaratan perwakilan. Artinya, konsepsi pemilihan rektor masih tidak sesuai konsepsi yang diterapkan oleh negara hari ini, jadi kondisi politik kampus masih di bawah standar politik negara.
Menanggapi hal tersebut, mantan ketua BEM FMIPA dan ketua DPM, Saudara Zainal Abidin berkomentar “Sama halnya dengan teman-teman di ITS itu mahasiswakan dapat porsi sepuluh persen, itu untuk ITS. Itu bagian dari perjuangan teman-teman BEM-U (BEM UNIVERSITAS), dalam melahirkan hak-hak dasar mahasiswa itu. Persoalannya yang di UNEJ kan sampai sekarang ini gak ada BEM-nya (BEM UNIVERSITAS), ini lantas jadi permasalahan juga bagi mahasiswa dalam menuntut hak-hak dasar mahasiswa itu sendiri.”
Sepertinya hanya sebagian kecil mahasiswa yang punya keinginan memperjuangkan demokratisasi di kampus ini. Rapat Umum Anggota untuk memilih pengurus BEM dan DPM biasanya sepi, apalagi di F.MIPA kemarin. Ketua BEM F.MIPA saat ini pun, sebenarnya lolos sebagai calon tunggal. Sangat disayangkan apabila event penting seperti itu menampakkan cara pandang terhadap demokrasi yang masih cukup dangkal, sehingga dalam prakteknya hanya memaknai demokrasi secara prosedural saja.
Baiklah, jika konsepsi pemilu rektor seperti itu dibenarkan maka hal klise yang masih menjadi perdebatan adalah, tinggal bagaimana peranan organisasi kemahasiswaan seperti BEM dan DPM memperjuangkan hak-hak kita. Apakah keinginan mereka sama dengan keinginan kita? Itulah yang masih menjadi masalah. Kemungkinan besar alasan praktisnya adalah lembaga perwakilan mahasiswa dianggap suara sah yang mewakili aspirasi mahasiswa seluruhnya mengingat dipilih melalui pemilu kampus dan struktur organisasi berada di bawah Fakultas. Kurangnya kinerja BEM dan DPM, dapat mengakibatkan jurang pemisah hubungan antara lembaga perwakilan mahasiswa tersebut dengan mahasiswa semakin dalam. Ada anggapan bahwa lembaga perwakilan mahasiswa merupakan alat politik birokrasi kampus yang dibentuk hanya untuk meredam tuntutan atas hak dasar para mahasiswa.
Pada saat yang bersamaan, isu pembubaran lembaga perwakilan mahasiswa mencuat di sejumlah kalangan mahasiswa. Salah seorang mahasiswa, (sebut saja si O) mengatakan, “Sebenarnya pekerjaan BEM dan DPM itu apa sih?”, “Mereka (BEM dan DPM) kalau dapat dana (jumlahnya) besar (dibandingkan ukm dan hmj)”, “Mau saya protes kinerja mereka nanti waktu formawa (forum mahasiswa mipa).” Jika hal tersebut terus terjadi, sejumlah elemen anti mahasiswa dikhawatirkan justru memanfaatkan situasi di tengah polemik gejolak sosial dinamika kampus. Tantangan inilah yang semakin memberatkan sejumlah elemen mahasiswa ketika berupaya sekaligus menghadapi perubahan sosial di dalam Kampus agar tercipta lebih baik.
Sebenarnya BEM dan DPM sendiri sudah berupaya sebaik mungkin dalam memperjuangkan hak-hak mahasiswa, hanya saja perlu diketahui bahwa gerak mereka pada kenyataannya sangatlah terbatas. Dalam pemilihan rektor saja, mereka hanya dilibatkan dalam acara penyampaian visi misi calon rektor saja. Momentum itu pun dapat dimanfaatkan dengan baik oleh mereka untuk membuat kesepakatan atau perjanjian dengan pihak calon rektor. Saudara Rizal, ketua BEM FMIPA mengaku mereka sempat dijegal atau dihalangi oleh panitia acara penyampaian visi misi. Namun dalam kesempatan tersebut, mereka diberi kesempatan untuk membuat kesepakatan berupa kontrak politik antara ABSU dengan pihak calon rektor untuk membentuk BEM-U. Terkecuali Bapak Ayu Sutarto karena mungkin terburu-buru, sehingga belum sepakat dan tidak sempat ikut menandatangani kontrak politik yang sudah dibuat. Adapun isi kontrak politik tersebut:
1.
Pemilihan rektor bebas money politik atau uang suap.
2.
UNEJ bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
3.
Berdirinya BEM tingkat universitas di UNEJ.
ABSU sendiri adalah kepanjangan dari Aliansi BEM-SeMa (Senat Mahasiswa) Universitas Jember. ABSU beranggotakan BEM dan senat mahasiswa dari setiap fakultas. Di beberapa fakultas, seperti di FKG terdapat SeMa atau Senat Mahasiswa yang berfungsi sama halnya seperti BEM di FMIPA ini. Pembentukan aliansi tersebut bertujuan supaya aspirasi mereka lebih didengar, “kalau banyakkan lebih bisa didengar” kata Rizal, ketua BEM FMIPA.
Pendirian BEM-U sangatlah penting sebagai alat kontrol kebijakan universitas. BEM-SeMa dari setiap fakultas telah sepakat bahwa tingkat universitas harus ada BEM-nya. Diharapkan dengan adanya BEM tingkat universitas nanti, aspirasi dan hak dasar mahasiswa dapat diperjuangkan oleh mereka. Pada pemilihan rektor berikutnya, mahasiswa haruslah dilibatkan.[HynJack’all 09]
ABSU sendiri adalah kepanjangan dari Aliansi BEM-SeMa (Senat Mahasiswa) Universitas Jember. ABSU beranggotakan BEM dan senat mahasiswa dari setiap fakultas. Di beberapa fakultas, seperti di FKG terdapat SeMa atau Senat Mahasiswa yang berfungsi sama halnya seperti BEM di FMIPA ini. Pembentukan aliansi tersebut bertujuan supaya aspirasi mereka lebih didengar, “kalau banyakkan lebih bisa didengar” kata Rizal, ketua BEM FMIPA.
Pendirian BEM-U sangatlah penting sebagai alat kontrol kebijakan universitas. BEM-SeMa dari setiap fakultas telah sepakat bahwa tingkat universitas harus ada BEM-nya. Diharapkan dengan adanya BEM tingkat universitas nanti, aspirasi dan hak dasar mahasiswa dapat diperjuangkan oleh mereka. Pada pemilihan rektor berikutnya, mahasiswa haruslah dilibatkan.[HynJack’all 09]
Komentar
Posting Komentar