“Tidak ada air,
tidak ada kehidupan.” Begitulah bunyi sepenggal kalimat ilmiah yang masih
berlaku sampai saat ini. Sebagian besar
penyusun tubuh makhluk hidup, khususnya manusia adalah air. Sungai sebagai
salah satu wilayah air permukaan terbesar kedua di dunia (setelah laut) sangat
dekat kaitannya dengan kehidupan manusia. Kegunaan atau fungsi sungai sendiri
sangatlah beragam dan dapat dikatakan serbaguna. Sungai telah digunakan untuk
bermacam-macam tujuan, mulai dari kebutuhan konsumsi hingga kepentingan infrastruktur
demi menunjang kehidupan sehari-hari. Sama seperti air, sungaipun telah menjadi
bagian dari kehidupan. Dengan berbagai fungsi tersebut, sungai bahkan telah
menjadi pusat perkembangan suatu bangsa dan cikal bakal dari beberapa kebudayaan
dan peradaban dalam sejarah. Perumahan penduduk biasanya tersebar mengikuti
aliran sungai. Kebudayaan dan peradaban yang tinggi pun timbul dari sungai,
seperti peradaban sungai Nil di Mesir dan sungai Gangga di India.
Sebagian besar wilayah Jember secara
geografis adalah daerah
yang dikelilingi dataran tinggi (DAS/daerah air sungai; daerah yang
berada diantara sungai dan dataran tinggi (; bukit, gunung,dsb)). Daerah ini
terutama meliputi wilayah selatan, timur,
dan utara yang menyebabkan banyak sungai dengan aliran cukup deras yang
melewatinya.
Sungai Bedadung
Bedadung
merupakan salah satu sungai
yang cukup dikenal di kalangan warga jember terutama warga yang hidup di sepanjang
wilayah Tegal Boto, Tegal Gede, Sumber Sari, Patrang, bahkan daerah daerah
lainnya. Sungai ini terkenal akan mitos dan juga airnya yang deras dan sungai
ini sekaligus merupakan suatu fasilitas yang menampung hajat orang banyak,
terutama untuk hal hal keperlauan rumah tangga, semisal keperlauan untuk mandi,
mencuci pakaian, dan lain sebagainya.
Dewasa
ini, fungsi dari
sungai Bedadung mulai berubah seiring berjalannya waktu. Sungai yang awalnya dipergunakan oleh para penduduk
sekitar untuk keperluan rumah tangga,sekarang berubah untuk tempat pembuangan
sampah, limbah industri, dan lain sebagainya yang menyebabkan air sungai ini
terkadang tak layak untuk digunakan, bahkan untuk sekedar mencuci pakaian.
Semua hal tersebut
sesungguhnya juga adalah
ulah dari masyarakat sekitar yang tidak mempedulikan lingkungan, Kebiasaan
membuang sampah di sungai sepertinya sudah menjadi kebiasaan masyarakat
sekitar, seperti yang terjadi pada mayarakat sekitar jembatan gladak kembar
maupun semanggi yang kadang-kadang terlihat membuang sampah di sungai tersebut. Tentu tidak mengherankan apabila saat hujan air sungai
ini meluap dan menimbulkan banjir.
Sesungguhnya dari pihak
pemerintah daerah telah memberikan suatu rambu rambu bagi masyarakat agar tidak
membuang sampah di sungai, Berbagai usaha dan sosialisasipun telah dilakukan, tapi mungkin memang sudah
menjadi kebiaasan bagi masyarakat untuk
membuang sampah di sungai. Menurut salah satu sumber informasi yang kami dapatkan, sesungguhnya masyarakat
sudah terbiasa untuk membuang sampah di
sungai karena lebih praktis dan tidak memakan tempat. [Budi 10]
Budaya ‘Sungai’ yang Sulit Hilang
di Glagahwero
Di desa – desa, umumnya aktivitas mandi, cuci, dan kakus di sungai agaknya telah menjadi budaya (kebiasaan) bagi
masyarakat setempat. Sama
halnya seperti yang
dilakukan oleh warga sekitar, Sungai ‘Glagahwero’, Kec.Kalisat, Kab. Jember. Warga sekitar Desa Glagahwero memang sebagian
besar tidak mempunyai kamar mandi pribadi, sehingga sungai menjadi tumpuan yang cukup penting bagi
kehidupan mereka.
Di sungai Glagahwero, selain
tempat untuk mencuci, mandi, dan yang lainnya itu ternyata juga digunakan
sebagai tempat pembuangan sampah, hingga terlihat banyak sampah – sampah
menumpuk di kanan kiri
maupun di tengah –
tengah sungai. Masyarakat sekitar sungai tersebut seperti acuh tak acuh
terhadap kebersihan Sungai Glagahwero. Menurut seorang narasumber (), jika hujan, sungai terlihat sangat keruh dan deras,
sedangkan pada saat kemarau air sangat sedikit disungai tersebut. Akibatnya, masyarakat sendirilah
yang sering
merasa kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya terkait kondisi sungai tersebut. Demi menanggulangi masalah tersebut, masyarakat
Desa Glagahwero membuat
sejenis kamar mandi umum yang biasa dijuluki “sumber” oleh masyarakat sekitar. (“Sumber” adalah sebutan dari masyarakat mayoritas madura untuk tempat
pemandian umum dengan sebuah pipa penyedot besar yang sumber airnya melimpah,
bisa berasal dari sungai atau air tanah; sungai bawah tanah atau sumur). Awalnya “sumber” tersebut digunakan untuk
menggantikan peranan sungai bagi masyarakat. Tetapi, makin lama masyarakat kembali
mengacuhkan peranan kamar mandi umum yang dibuat dekat sungai tersebut.
Masyarakat Desa
Glagahwero itu kembali menggunakan fungsi sungai yang menurut mereka lebih
efektif untuk beraktifitas, meskipun sebagian orang tetap menggunakan kamar
mandi umum untuk melakukan aktifitas.
‘Budaya’ memanfaatkan
sungai untuk aktivitas mandi, cuci, kakus, plus membuang sampah memang telah
ada sejak dulu. Namun seiring perkembangan zaman, ‘budaya’ tersebut tidaklah
aman dan sehat untuk dilakukan sekarang. Aktivitas mandi, cuci, kakus, dengan
menggunakan sabun dan detergen tentu akan mencemari dan mengotori sungai. Hal ini bertambah parah ketika sungai menjadi tempat pembuangan
sampah.
Glagahwero adalah satu
objek yang bisa kita jadikan cermin tentang bagaimana peranan masyarakat dalam
“menjaga” kebersihan sungai. Masyarakat
kita sadar betul tentang potensi sungai, namun masih banyak yang belum sadar
tentang bagaimana menjaga potensi sungai itu sendiri. Bahkan ketika solusi
mengenai masalah tersebut telah ada, tanpa kesadaran maka masalah mengenai
”menjaga” kebersihan sungai tidak akan terselesaikan. [Rosa]
Komentar
Posting Komentar