Oleh
Ika Wahyuni
Aku
masih memandangi secarik kertas dengan tinta merah membentuk satu angka tiang
dan dua angka nol dibelakangnya. Hasil ujian matematika yang baru saja aku
terima, disambut dengan ucapan selamat dosen pembimbing. Kesempurnaan, katanya.
Ah, aku bahkan sudah terbiasa dan bahkan tidak tertarik untuk membanggakannya. Maya
Hime namaku, mungkin akan lebih mudah dipanggil May. Sebagai salah satu
mahasiswi Ilmu Pendidikan, aku sering dijadkan teladan. Nilai semua mata kulyahku
tak perlu diragukan, angka A berjejer rapi.tapi bukan ini yang membuatku bisa
tertawa lepas seperti mereka, penghuni sisi dunia yang jauh berbeda dengan
duniaku yang serba baik dan lancar.
“
may, nanti bilang ke Bunda ya, aku pulang agak malam. Ada rapat pers di
Fakultas Teknik “, Ucap Nay. Aku hanya tersenyum. Ia berlalu tanpa kata lagi.
Aku menatapnya dengan tatapan iri , Nay yang bisa bersosialisasi dengan
sangat baik, aktif berorganisasi dan
banyak rekan. Meskipun dari segi akademik kami jauh berbeda, setiap akhir
semester Bunda geleng-geleng kepala melihat rantai karbon berjejer indah di LHS
Nay. Ah, aku muak ketika harus menerima bahwa kami terlahir dari satu sel telur
dan satu sel sperma. Bertatapan dengannya hanya membuatku menginginkan
dunianya, dunia yang penuh ramah-tamahnya manusia.
Sejak
lahir, aku dan Nay dibesarkan dilingkungan yang sama, fasilitas yang sama dan
makan minum yang sama. Tapi sifat kita jauh berbeda. Aku kutu buku dengan nilai
cum laude, dan ia aktivis dengan sejuta pengalaman.
“
masih menginginkan dunianya?”, Tanya Ardian, seakan bisa membaca fikiranku.
“
nggak, aku… Cuma iri melihatnya tertawa lepas dan berbahagia “, jelasku. Aku
menghela nafas panjang. Sesak karena keinginan ini begitu menyakitkan.
“
kamu nggak bahagia, dengan nila cum laude dan prestasi akademik? Kamu
mau jadi organisatoris gitu?”, Tanya Ardian lagi. Aku
hanya terdiam. Mungkin lebih tepatnya, aku ingin menggantikan posisi Nay.
Hingga
akhirnya, Nay mengerti apa yang aku rasakan. Sejak seminggu yang lalu, perasaan
iri dan dengkiku pada Nay berubah menjadi kebencian. Aku mulai menjauhinya, aku
meminta pisah kamar pada bunda, Nay marah tentunya, dan aku hanya diam. Tapi seiring waktu, Nay terlihat sedikit
menjauh. mulai mengurangi aktivitasnya, entah mengapa. Ia mulai sering membaca
buku, menyendiri di bangku kantin, dan akhir-akhir ini aku dengar Nay mulai
pasif di lembaga pers.
Semakin
lama, Nay semakin aneh saja. Ia mulai terlihat seperti diriku. Nilai-nilainya
mulai membaik, tak ada lagi rantai karbon yang terjejer.tak ada lagi keluar
malam, rapat, reportase atau semacamnyalah. Lalu, senagkah aku dengan keadaan
seperti ini?
Aku
benci melihatnya yang bertingkah sepertiku. Aku benci melihatnya yang mulai
menuai pujian karena peningkatan prestasinya. Aku membencinya yang mulai
berpakaian rapi dan menawan. Aku…. Aku mungkin ingin ia menghilang Tuhan….
***
Sore
itu, Nay sedang rapat di lapangan bola dengan teman-teman persnya. Aku hnya
melintas tanpa melihatnya. Seorang teman Nay memanggilku
“
hei may…sini gabung sini “, ajaknya, ia menarik lenganku dan mengajakku duduk
disebelah Nay. Pipi Nay memerah, mungkin ia malu.
“
wah… liat orang kembar tuh gimana gitu ya…..”, ledek Mita
“
ah… kalian. Aku ada kerja kelompok nih “
“
Kalian kembar fisik sih, tapi otaknya beda, May dengan otak super dan Nay
dengaan otak bakpau”, ledek Rian. Semua tertawa. Aku tersenyum. Meras seakan
menang dari Nay
“
tapi sayangnya, May kurang sosialisasi nih. Ayo donk jangan nutup diri May.
Masak kamu kalah dari Nay. Dia udah melanglang buana sampai ujung Indonesia”,
ledek Mita lagi. Aku diam, terasa sesak seperti ada yang mengikat paru-paruku.
“
udah ah, ngomong apa sih kalian. Kan kita punya jalan hidup masing-masing”,
ujar Nay
“Tapi
ya, kalo dilihat-lihat nih, cowok tuh lebih tertarik ke Nay loh. Kamu sih
May…kurang terbuka. Masak mau jomblo terus”, ledek Rian. Aku lelah mendengar
semua. Aku meninggalkan mereka.
“May…tunggu
May…!”, teriak Nay mengejarku
“
apa? Puas kamu…”, ucapku marah
“
may? Kamu marah ke aku?”
“ semua orang suka sama kamu, cewek,
cowok. Kamu punya banyak teman Nay… kamu dikagumi. Bnyak orang yang mau bantuin
kamu. Sedangkan aku? Siapa aku? Mahasiswi kutu buku yang nggak punya temen “
“May…
dengerin bentar May… aku ama kamu beda. Aku…”
“
stop Nay… aku juga ingin kayak kamu. Aku ingin jadi kaum. Aku nggak mau melihat
kamu sebagai bayanganku lagi”
“
May….”, ucap Nay berusaha merangkulku, aku mengelak
“
cukup…”, ujarku lalu pergi. Aku sensitive, terlalu sensitive saat in. bahkan
untuk hal yan sepele seperti ini.
***
Senja
ditengah perang dingin antara aku dan Nay. Hamper satu bulan semua seperti ini.
Aku duduk menerawang angsasa malam dari balkon kecil kamarku. Nay masuk membawa
secangkir kopi. Aku tak merespon kedatangannya. Nay duduk disebelahku, seakan tidak pernah ada
yang salah dengan hubungan kami.
“
Kamu tahu, bagaimana cara menikmati kopi ini ?”, ucap Nay mengawali. Aku
pura-pura tetap membaca kalkulus V yang aku pegang. “ dengan menambahkan
kreamer ke dalam kopi ini tentunya. Dengan takaran yang pas, kopi yang pahit
akan terasa gurih dan manis”, jelasnya singkat.
“
ngomong apa sih “, jawabku jutek.
“
aku dan kamu, May. Ibarat Kopi dan kreamer ini. Harus ada yang menjadi pemanis.
Meski pahitnya kopi merupakan pahit yang menenangkan, sebagian orang tidak akan
serta menerima pahitnya kopi “, jelas Nay. Aku menatap wajahnya, seakan
bercermin pada cermin buram, Nay menatap langit dengan tatapan sayunya.
“
aku ini kopi, dan kamu kreamernya. Aku Cuma bagian cacat dari diri kamu yang
nggak pernah bisa menyamai kedudukan kamu “, ucapnya lagi. Aku tersentak,
tetapi aku tak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
“
udah ah, lagi males ngomong “, jawabku. Nay terdiam. Air matanya jatuh ke
cangkir kopinya. Kemudian ia berlari ke kamarnya.
Aku
merasa bersalah. Dadaku sesak akan penyesalan. Ingin rasanya kaki ini berlari
dan mengejarnya, tapi di satu sisi hatiku yang gelap, aku gengsi. Kenapa aku
yang harus mengejarnya?
Ah,
haruskah aku seperti ini. Aku memutar kembali ingatanku ketika kami masih
kanak-kanak, kami bermain tanpa ada persaingan dan saling iri. Ketika hari pertama
kami mesuk SD, Nay meminjamkan seragam Merah putihnya kepadaku, karena
seragamku belum kering, dan akhirnya ia yang kena marah oleh kepla sekolah. Aku
ingat, bagaimana kami saling berlomba untuk mendapatkan pujian dari setiap guru
dikelas. Tap kami tak pernah bermusuhan. Tak pernah…
Aku
melangkahkan kaki ke dalam kamar. Aku rebahkan tubuh kecil ini ke kasur spons
yang dulu menjadi saksi keakrabanku dengan saudara kembarku, Nay. Masih
terngiang jelas dikepalaku.
“ aku ini kopi, dan
kamu kreamernya. Aku Cuma bagian cacat dari diri kamu yang nggak pernah bisa
menyamai kedudukan kamu “
Bukan Nay, sebenarnya
akulah kopi itu. yang ada di hidupku hanya nilai, akademik dan tugas kulyah. Dan
kamu yang punya sisi manis, sisi kebalikan dari kehidupanku yang datar. Tapi
Nay selalu begitu, mengalah demi aku. Ah, aku semakin menyesal saja.
Ku arahkan langkah kaki
ku yang agak berat ini ke kamar Nay yang berada disamping kamarku. Dari depan
pintu kamarnya, aku mendengar suara tangisan. Nay menangis? Karena aku?
Aku urungkan niat untuk
masuk ke kamar Nay. Mungkin esok pagi saja aku minta maaf. Nay mungkin butuh
waktu, dan aku juga masih malu mengakui kesalahnku.
***
Sinar matahari menembus
trai jendela kamarku. Hari mulai siang, jam dindingku menunjukkan pukul 08.00.
aku terbangun. Sejak semalam aku hanya diam dan merenungkan kesalahanku. Tak
perlu ditunda lagi, aku akan minta maaf ke Nay.
Aku beranjak dan menuju
kamar Nay. Pintunya terbuka. Tempat tidurnya tertata rapi, aku segera masuk.
Aku buka lemari Nay, tak satu baju pun tersisa. Make upnya, bedaknya, seragam
persnya, semuanya kosong. Aku panic, apa… apa yang terjadi?
“ Bunda….Ayah…. Nay kemana?”, teriakku dari lantai ats.
Tai tak ada satu sahutan pun. Aku pun segera turun. Aku melihat ayah dan bunda
hanya berdua, tanpa Nay. Mereka sayu dan tanpa semangat.
“ Bund…. Nay udah ke
kampus?”, tanyaku. Bunda hanya terdiam. Ayah menyodorkan secarik kertas biru
kepadaku.tanpa asa-basi aku membaca surat itu, dari Nay….
Keindahan
tak pernah berakhir ketika aku melihatmu berjuang, saudaraku
May,
cermin yang selalu terlihat lebih indah. Nay hanya meninta maaf atas kehadiran
Nay yang mungkin nggak kamu inginkan. Mungkin May nggak menyadari, Nay
akhir-akhir ini berusaha menjadi seperti May. Nay ingin tahu, bagaimana rasanya
menjadi May. Menyenangkan, tapi aku tahu kamu kesepian, tanpa teman. Berbeda
dengan apa yang telah aku jalani selama ini, aku banyak teman, aku punya orang-orang
yang datang ketika aku butuh mereka. Tapi menyadari semua itu, aku merasa
benar-benar menjadi saudara yang nggak respect sama kamu.
May…
Tetaplah
menjadi kreamer, karena aku nggak pernah bisa menggantikan kamu menjadi pemanis
hidup bunda dan ayah. Dan jangan sekali kali kamu berfikiran untuk menjadi
seperti aku. Jangan pernah….
Karena,
tidak mungkin ada dua kopi untuk membuat malam hari semakin nikmat…
Aku…
selalu menjadi pendukungmu
Nay
Aku tertegun, aku masih belum mengerti dengan
apa yang Nay maksud.
“
Nay memutuskan ke Yogyakarta, menetap dirumah eyang. Nay melarang ayah dan
bunda untuk memberitahu kamu. Nay ingin, kamu tetap menjadi kamu, tanpa
memikirkan diri Nay sendiri… “, jelas ayah
Aku
histeris…aku menyesal. Apa yang telah aku lakukan selama ini, pada setengah
jiwaku yang membelaku dan memikirkanku melebihi dirinya sendiri. Puaskah aku
dengan semua ini? Inikah yang aku cari?
Nay,
kopiku tak akan segurih dulu……
---THE END----
Sob, gimana menurut kalian , Okey kan...
Jangan lupa Sarannya yah biar makin okey nich Sobat-sobat kita ..:)
Jangan lupa Sarannya yah biar makin okey nich Sobat-sobat kita ..:)
Komentar
Posting Komentar