Oleh : Ahcmad Ridwan Palili
Siapa yang tak mengenal Mary
Wallstonecraft, Betty Friedan, Malala Yousafzai atau R.A Kartini. Tak hanya di
kalangan perempuan, mereka sangat tersohor di kalangan masyarakat umum dan
dunia. Ya, mereka adalah beberapa tokoh emansipasi perempuan yang
memperjuangkan hak-hak setara antara kaum perempuan dan laki-laki dalam hal
pendidikan, ekonomi, sosial dan aspek kehidupan lainnya. Karena perjuangan
wanita-wanita luar biasa ini, banyak hal yang berubah dari kehidupan perempuan
di dunia yang tadinya terbelakang. Mulai dari banyaknya perempuan yang muncul
di kancah dunia dengan segudang prestasi dalam bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan yang membuktikan bahwa sudah ada kesamaan hak antara perempuan dan
laki-laki dalam hal pendidikan. Hingga pada bermunculannya beberapa tokoh
perempuan yang menyumbangkan pikirannya untuk perekonomian dunia, bahkan ada
yang sampai menjadi orang nomor satu di negaranya. Inilah esensi dari
emansipasi yang sebanarnya. Inilah makna dari feminism yang benar-benar murni
memperjuangkan hak-hak perempuan. Kita semua tahu bahwa segala pencapaian ini
yang telah diabadikan oleh sejarah melahirkan sebuah paham yang kontroversial
yakni “Feminisme”.
Dikatakan kontroversial,
karena esensi dari feminisme itu sendiri mengalami pergeseran dari waktu ke
waktu. Sekarang bahkan dapat dinyaktakan bahwa feminisme tak lagi didapati
dalam pengertian yang sebenarnya sebagaimana pada saat pertama kali feminisme
itu muncul. Sekarang feminisme lebih dimaknai sebagai bentuk dari “pemberontakan
bodoh” kaum perempuan terhadap laki-laki yang bahkan bukan lagi dalam aspek
yang memungkinkan supremasi melainkan dalam aspek abstrak seperti otonomi “unjuk
diri di masyarakat”. Hal ini tentu sangat melenceng jauh dari landasan
feminisme yang tadinya cenderung memperjuangkan kehormatan perempuan dan
memperjuangkan kesetaraan hak antara kaum peremepuan dan laki-laki yang masih
dalam aturan norma dan nilai yang diterima di dalam masyarakat.
Feminisme didapati dalam
kebobrokan yang semakin nyata dan kuat kurang lebih setengah abad terakhir. Ada
berbagai unjuk rasa di berbagai negara yang melibatkan nyaris seluruh kaum
perempuan dalam negara tersebut dimana banyak sapnduk yang mereka bentangkan
dengan tulisan-tulisan yang “gagal logis”. Misalnya “HAK KAMI BERPAKAIAN
SEXY!”, “JANGAN JADIKAN KAMI OBJEK SEKSUAL”, “BIARKAN KAMI MEROKOK!” dan
“BIARKAN KAMI BERTELANJANG DADA!” atau “JIKA LAKI-LAKI MELAKUKANNYA, MENGAPA
KAMI TIDAK!”. Ujaran-ujaran serupa yang mereka lontarkan sebenarnya bukan lagi
suatu hal yang berkaitan dengan kehormatan feminisme (perempuan) melainkan
sebagai suatu tindakan “gali liang lahat” untuk kaum perempuan itu sendiri.
Inilah yang mereka maksud dengan otonomi unjuk diri di masyarakat.
Pada akhirnya jadilah
feminism dimaknai sebagai suatu teori, paham, atau aliran yang semata memperjuangkan bagaimana agar
perempuan bisa melakukan segala hal yang kaum laki-laki bisa lakukan. Tidak ada
lagi kemurnian kodrat. Tak ada lagi pemisahan peran antara perempuan dan
laki-laki yang wajar dan manusiwai. Laki-laki menjadikan perempuan sebagai
objek seksual bukan karena semata perempuan berpakaian sexy atau terbuka melainkan karena itu merupakan kodrat dan naluri
yang dimiliki laki-laki. Karena aturan tersebut dihadang oleh aral melintang
dari para feminis abal-abal, maka semakin suburlah produk-produk LGBT. “Saya
menjadi gay, karena perempuan menolak dijadikan objek seksual”. Saya menjadi
lesbian karena saya benci laki-laki dan tidak mau dijadikan objek seksual oleh
mereka”. Adalagi yang melakukan transgender supaya bisa menyusup di kedua
gender tanpa harus takut dengan masalah prinsip dan kewajaran yang dipercayai
di dalam masyarakat.
Segala pekerjaan keras yang
biasanya-sewajarnya dilakukan oleh kaum laki-laki justru diklaim oleh para
feminis abal-abal tersebut. Misalnya saja dalam hal merokok dan alkohol. Banyak
di luar sana para perempuan yang merasa pantas untuk menjadi seorang perokok
dan bahkan kecanduan alkohol begitu akut. Pertimbangan mereka sebelum
melakukannya adalah semata karena merasa tak ingin kalah dengan kaum laki-laki.
Padahala notabene, secara fisik laki-laki memang lebih kuat daripada perempuan.
Lagipula, jika laki-laki saja mampu dibuat impoten dan mandul oleh rokok dan alkohol,
tentu saja kemungkinan untuk perempuan kanker rahim jauh lebih besar. Lalu apa
manfaat dari kesetaraan yang mereka coba perjuangkan. Yang ada hanyalah
hilangnya keanggunan perempuan secara drastis dari waktu ke waktu.
Yang lebih buruk dari kedua
hal di atas adalah ketika kaum perempuan juga menginginkan “bertelanjang dada”
seperti yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki. Laki-laki mandi di kolam, hal
biasa jika mereka bertelanjang dada. Ketika mereka kegerahan, pun hal biasa
jika mereka bertelanjang dada. Ketika mereka bekerja, jogging, hang out dengan teman-temannya bahkan
berjalan-jalan di emperan jalan di sore hari, laki-laki pun ada yang
bertelanjang dada. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dada laki-laki bukanlah
area genital (aurat). Dada laki-laki bidang-atau kerempeng sedangkan dada
perempuan selain sebagai area genital (aurat) juga merupakan salah satu objek
paling kuat dalam mengusik “pendirian” kaum laki-laki. Akan sangat tidak wajar
pabila perempuan berbelanja di mall
dengan bertelanjang dada. Akan sangat memalukan ketika ada perempuan yang duduk
di taman sambil bertelanjang dada. Akan sangat tak sedap dipandang apabila
didapati perempuan berjalan di trotoar
sambil bertelanjang dada. Jangankan bertelanjang dada, perempuan dengan busana
yang cenderung terbuka sekalipun akan mendapatkan respon yang kurang baik di
masyarakat. Jika tidak dianggap sebagai “perempuan jalang” pasti akan dianggap
sebagai perempuan gila. Jangan harap masyarakat akan berpikir tentang style fashion yang sedang tren, seni atau estetika berpakaian atau
pun menilai dan menyimpulkan bahwa hal seperti itu merupakan bagian dari
defenisi modis. Apa yang akan dipikirkan oleh masyarakat untuk pertama kali
adalah kapasitas kesopanan dan kehormatan perempuan. Sehingga ketika ada yang
di luar dari batasan sopan atau terhormat, yakin dan percaya pasti akan
mendapatkan perlakuan buruk, baik tindakan atau pun dugaan. Intinya hal
tersebut justru semakin merendahkan kaum perempuan.
Komentar
Posting Komentar