Oleh :Muhammad Yudistira Taslim
Dewasa
ini, pendidikan menjadi salah satu isu yang hangat diperbincangkan, baik dari
segi kebijakan, mutu, pelayanan, hingga pemerataan pendidikan. Menurut Ki Hajar
Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) Pendidikan yaitu tuntutan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
Berdasarkan pengertian diatas, pendidikan
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Hak untuk
memperoleh pendidikan ini, telah diatur dan dijamin oleh negara melalui
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Dimana dalam Pasal 28 C Ayat (1)
menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.”
Selain itu, dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 juga
menyatakan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar,
sedangkan pemerintah wajib membiayainya. Pasal 31 ayat (3) dan (4) menegaskan
bahwa pemerintah memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mengusahakan
penyelenggaraan pengajaran nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
dengan memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sejak diberlakukannya program wajib belajar sembilan
tahun, pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik
dari segi tingkat partisipasi peserta didik, kurikulum, hingga ketersediaan sarana
dan prasarana yang memanfaatkan perkembangan teknologi sebagai penunjang
kegiatan belajar mengajar. Muhadjir
(2017) mengungkapkan angka partisipasi untuk sekolah dasar sudah lebih dari
100%, tingkat putus sekolah sudah turun juga menjadi 0,26%, dan tingkat melek
huruf di kalangan muda telah mencapai hampir 100%. Namun, peningkatan yang
telah dicapai tersebut hanyalah sebatas kuantitas, sedangkan untuk kualitas
atau mutu pendidikan di Indonesia dapat dikatakan masih rendah. Professor Andrew Rosser (2017) dari
Universitas Melbourne dalam acara
bernama Lowy Institute di NGV, memaparkan bahwa selama melakukan penelitian mengenai pembangunan di
Indonesia, kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya dibandingkan dengan
negara-negara di kawasan yang sama, tidaklah menunjukkan perbaikan. Ia merujuk
pada sebuah pengukuran kinerja pendidikan internasional, atau PISA, dengan melihat
kualitas pendidikan di bidang sains, matematika, dan membaca.
Seperti yang kita ketahui bersama, saat
ini masih banyak penyelenggara pendidikan yang hanya terfokus pada kuantitas untuk
mengejar target jumlah siswa, tanpa menyadari bahwa yang menjadi permasalahan
dalam dunia pendidikan kita saat ini adalah terkait dengan kualitas atau mutu
pendidikannya. Suatu pendidikan dapat dikatakan berkualitas jika output yang
dihasilkan telah memenuhi beberapa kriteria, yang diantaranya yaitu menurunnya
tingkat pengangguran, menurunnya tingkat kesenjangan sosial, serta yang tidak kalah penting adalah meningkatnya
partisipasi pelajar dalam kegiatan ilmiah, seperti publikasi jurnal ilmiah,
penelitian ilmiah, serta meningkatnya nilai moral dan sikap toleransi para pelajar. Namun, kualitas pendidikan kita
masih cukup jauh untuk dapat memenuhi kriteria di atas, disebabkan beberapa
permasalahan klasik yang sudah sejak
lama terjadi. Sebagai contoh, tingkat partisipasi pelajar dalam kegiatan ilmiah
di Indonesia masih terbilang rendah, hal ini disebabkan oleh rendahnya minat
baca para pelajar yang nantinya akan berimbas pada rendahnya pemahaman terhadap
materi pelajaran serta keampuan literasi pelajar. Yang kedua adalah rendahnya
kualitas pengajar. Ketika kita membicarakan mengenai kualitas pendidikan, maka
yang sangat berpengaruh dan berperan penting adalah kualitas tenaga pendidik, tinggi
rendahnya kualitas tenaga pendidik ditentukan oleh seberapa banyak pengalaman
dan inovasi yang dimiliki oleh pengajar untuk menyelesaikan suatu permasalahan
dalam proses pebelajaran secara efektif dan kreatif. Namun ironisnya,
kesejahteraan tenaga pendidik khususnya guru honorer sangat rendah, mereka
hanya mendapat gaji dibawah upah minimum, sehingga hal inilah yang dapat
menyebabkan mereka tidak dapat memenuhi kualitas pengajaran secara optimal
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, disamping itu rasio antara guru
dengan murid juga masih cukup tinggi khususnya di wilayah pulau jawa. Yang
ketiga masih adanya pemikiran bahwa pendidikan hanyalah sebatas formalitas dan
untuk memenuhi gengsi semata. Nah, mindset
seperti inilah yang harus kita benahi, karena fungsi adanya pendidikan itu sendiri
adalah merubah pola pikir primitif menjadi sebuah cara berpikir yang logis,sistematis,
berkepribadian serta dapat dipertanggungjawabkan.
Hal lain yang membuat kita miris adalah
semakin menurunnya nilai moral dan sikap toleransi yang dimiliki oleh peserta
didik. Pengaruh globalisasi dan semakin canggihnya teknologi seakan mempermudah
akses terhadap berbagai macam informasi termasuk informasi yang bermuatan
negatif seperti konten pornografi, konten kekerasan, hingga konten beruatan
radikal. Hal tersebutlah yang kemudian mempengaruhi perilaku pelajar saat ini
menjadi lebih apatis, berprilaku bebas tanpa adanya kontrol, suka melawan dan
tidak menghormati guru yang seharusnya digugu dan ditiru. Masih hangat di
ingatan kita, bahwa beberapa saat yang lalu ada sebuah peristiwa dimana seorang
murid dengan tega menganiaya gurunya hingga tewas. Disaat yang sama, viral
sebuah video yang memperlihatkan seorang siswa berani menantang dan meneriaki
gurunya yang tengah menyampaikan pelajaran, hingga tawuran antar pelajar dan
dan penggunaan obat-obatan terlarang. Disamping itu, sikap toleran pelajar juga
cenderung menurun. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kasus bulliying yang
terjadi di lingkungan sekolah maupun kampus, tingginya tingkat diskrimnasi
terhadap pelajar berkebutuhan khusus dilingkungan sekoah normal, banyak siswa
dan masyarakat yang masih menganggap anak berkebutuhan sebagai beban sosial,
dan menganggapnya sebelah mata, sehingga dapat dikatakan bahwa saat ini
pendidikan inklusi hanya sebatas retorika belaka.
Sebagai bagian dari
masyarakat, seharusnya kita mengupayakan bagaimana supaya pendidikan kita tidak
hanya mengalami peningkatan dari segi kuantitasnya saja, akan tetapi juga
meningkat dari segi kualitasnya. Hal yang dapat kita lakukan yang paling
mendasar adalah dengan mengubah pola pikir kita bahwa pendidikan tidak
berkedudukan sebagai pemuas gengsi atau formalitas belaka, akan tetapi sebagai
sesuatu hal berharga yang perlu diperjuangkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Peningkatan kesejahteraan dan kualifikasi tenaga pendidik khususnya guru
honorer. Penanaman karakter dan nilai moral sejak dini di kalangan pelajar,
yang tentunya tidak hanya sebatas teori di kelas akan tetapi juga diamalkan dan
dipraktikkan di lingkungan sekoah dalam
bentuk tindakan nyata, sehingga diharapkan para pelajar dapat menjadi pribadi
yang berakhlakul karimah, menghormati guru dan sesama, serta memiiki sikap
toleran dan tidak mudah terpengaruh oleh dampak negatif gobaisasi.
Memberlakukan metode pembelajaran inovatif berbasis perpustakaan yang dikemas
secara kreatif sehingga diharapkan tingkat minat baca dan kemampuan literasi
pelajar dapat tumbuh dan berkembang. Dengan demikian kualitas pendidikan di
Indonesia diharapkan dapat meningkat, sehingga program NAWACITA presiden
beserta SDG’s 2030 khususnya dibidang pendidikandapat tercapai
Komentar
Posting Komentar