oleh : Muhammad Saifuddin Zuhri
Penemuan aksara sebagai media komunikasi agaknya menjadi awal perubahan
budaya komunikasi dari teknik paling primitif, mulut ke telinga (nb: bukan
mulut ke mulut) menuju budaya komunikasi jarak jauh. Dengan aksara, hambatan
ruang dan waktu dalam penyampaian informasi dapat diatasi, meskipun informasi
dari informan tidak tersampaikan secara sempurna.
Abad 1 Masehi ketika kertas ditemukan, budaya komunikasi aksara semakin viral dengan berbagai kelebihannya.
Kemudian disusul komunikasi dan informasi jarak jauh (telekomunikasi dan
teleinformasi) audio melalui radio
dan telepon, dilanjutkan telekomunikasi dan teleinformasi (telkominfo) audio visual melalui tv dan kamera.
Akhir abad 20 Masehi lahir jenis-jenis media telkominfo baru bersamaan dengan
menetasnya teknologi internet.
Berbagai jenis media telkominfo tersebut bertujuan untuk memudahkan penyampaian
maupun pertukaran informasi.
Indonesia yang tidak lepas dari peradaban dunia juga merasakan transisi
media-media telkominfo ini bahkan sebelum nama Indonesia sendiri ada. Fase-fase
perubahan fungsi media telkominfo dapat sangat mudah diamati. Ya...., meskipun
pengamatan yang saya lakukan juga melalui media. Setidaknya ada 4 fase
perubahan fungsi media telkominfo di Indonesia mulai dari fase pra kemerdekaan
(biar nggak kejauhan), fase orde lama
- orde baru, fase reformasi, dan fase sekarang (zaman now dalam kamus anak2 hits).
1.
Fase pra
kemerdekaan
3,5 abad mbah2 kita berusaha membebaskan diri (bukan dijajah) dari dominasi
bangsa londo ditambah 3,5 tahun dari
NIPPON (kok angkanya bisa mirip gitu ya...?). Peran media dalam menggapai mimpi
kemerdekaan sangat besar, mobilisasi massa, pengobaran semangat para pejuang
dilakukan melalui media. Orasi-orasi diperdengarkan melalui radio-radio, bung
Karno, bung Tomo membakar semangat pejuang dengan kata2 nya, koran-koran bahkan
tembok-tembok kota menjadi media memuat slogan paripurna perjuangan “Merdeka
atau Mati”. Sampai akhirnya media terasa sangat berperan ketika suara haru
pembacaan proklamasi diperdengarkan “Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia.......”.
2.
Fase orde
lama – orde baru
Pasca kemerdekaan, Indonesia ternyata nggak sepenuhnya tenterem, adem ayem. Banyak masalah di sana sini, mulai dari makar
sampai sekutu yang masih eman ngelepas
kita. Propaganda menjadi jurus yang lumayan sakti untuk mengendalikan keriwehan dalam negeri, melalui apa ?
yaps media tentunya. Media menjadi penyambung lidah pemerintah untuk
menyampaikan mantra-mantra saktinya pada rakyat baik itu saat rezim sang
Proklamator maupun saat rezim sang Jenderal 32 tahun. Bedanya bapak
prokalamator masih sedikit lembut memainkan kembangan
medianya, sedangkan bapak pembangunan (katanya) sangat keras sampai2 juru media
serasa dipotong lidahnya. Gimana nggak, majalah2 yang kritis pada pemerintah
dibredel habis habisan, kepala wartawan-wartawati dicium moncong senapan yang
siap memuntahkan gotri panas. Media yang ada hanya satu suara “siap laksanakan
ndan”.
3.
Fase
reformasi
Ibarat burung yang 32 tahun dikurung kemudian tiba2 dilepas, dia akan
terbang serampangan, nabrak sana sini, manuver sana sini hanya untuk menikmati
kebebasannya, begitulah gambaran media di awal abad ke 21 pasca turunnya rezim
Soeharto. Kebebasan yang diidam-idamkan selama 32 tahun terasa seperti menemukan
oase di tengah panasnya gurun. Tetapi agaknya kebebasan itu tidaklah berjalan
lama. Jika sebelumnya pemerintah menunggangkan kepentingannya di atas punggung
media, pasca reformasi, ada kepentingan lain yang digendong tanpa sadar oleh
media, KORPORASI. Kepentingan yang digendongkan pada media sangatlah jelas,
yaitu untung, laba. Lebih dari itu, dominasi korporasi sangat terasa
pengaruhnya, sampai2 selera masyarakat pun turut serta menjadi sasaran. Makanan
yang harus dimakan, pakaian yang indah untuk dikenakan hingga selera terhadap
pemimpin pun turut diatur oleh korporasi-korporasi melalui media. Kekuatan
pemerintah belum sepenuhnya menembus pertahanan media dengan tameng bayang2
orde baru.
Barulah di periode kedua presiden ke-6 media mulai luluh. kepentingan
pemerintah mulai dapat dimuat media. Pada saat ini hubungan terlarang yang
dikhawatirkan mulai terjalin, yakni perselingkuhan birokrasi dengan korporasi.
Kedua sejoli ini menguasai di hampir seluruh aspek informasi di dalam media,
saling berhubungan, saling menguatkan dan saling menutupi kekurangan. Pihak
yang diselingkuhi tentunya adalah rakyat dengan segala kepolosannya. Kemesraan
yang harusnya terjalin antara rakyat dengan pemerintah dirampas oleh korporasi,
dan edannya pasangan selingkuhan ini dicomblangkan oleh media.
4.
Fase Now
Kesaktian Naruto yang menjabat hokage
ke-7 sering dikaitkan dengan kehebatan presiden Indonesia ke-7, pakde Jokowi. Kemampuan
mengendalikan media selama 4 tahun menjabat sebagai hokage, eh.. sebagai
presiden maksudnya, memang patut mendapat pujian. Pada awal pemanasan even
politik rutin lima tahunan, aroma khas dominasi pikiran sebenarnya sudah
terendus. Banyak yang menganggap blow up
media terhadap prestasi pakde selama menjadi walkot dan gubernur adalah sebagai
pencitraan semata. 6 bulan menjabat dan hilanglah fenomena pencitraan yng
sebelumnya pernah menjadi kendala naiknya pakde ke kursi RI 1. Tak mau kalah,
pihak oposisi, Prabowo, juga memanfaatkan media untuk mengkritisi sang lawan. Alhasil,
media menjadi medan perang anget2 kuku
antara rezim ke -7 dengan oposisinya. Lagi2 media menjadi mak comblang terjadinya perselingkuhan yang bahkan terjadi pada
pihak oposisi. Ibarat sahabat dekat yang
harusnya menjadi pendukung rakyat ketika hubungan mesra rakyat dengan
pemerintah tercederai, begitulah seharusnya pihak oposisi menjalankan
fungsinya. Akan tetapi, saking seksinya selingkuhan pemerintah, korporasi,
mungkin menjadikan oposisi tergiur, mencoba menikung. dan anehnya, mak comblangnya sama yaitu media.
Begitu seksinya media, sampai2 pepatah kuno yang bilang tuan tanah mengatur
segalanya berubah menjadi tuan media mengatur segalanya. Yang menguasai media lah
yang menguasai segalanya, uang, pendidikan, makanan, baju sampai urusan bok**ng
pun diatur seleranya. Jika sebelumnya politisi mendekati sesepuh media untuk
dapat memuluskan jalan politik, sekarang sesepuh2 media ikut andil dalam
politik negeri ini (lumayan lah untuk ngirit biaya promosi). ko HT adalah salah satunya (setelah
pendahulunya bung Surya dan wan Abu Bakrie melakukan hal yang sama) dengan
memperdengarkan mars parpolnya hampir di setiap jeda iklan di tv2nya. Sampai
ada yang bilang, “acara utama di tv2nya ko
HT itu sebenarnya mars p**indo, acara yang lain cuma selingan”, saking masifnya
promosi parpol ko HT dalam media.
Puncak kebingungan sangat terasa ketika rezim pakde Jokowi sudah hampir
habis. Semua berita yang pro dengan kebijakan pemerintah pasti ada berita kontradiksinya,
begitupun sebaliknya. Jurus pamungkas pun dikeluarkan untuk dapat membuktikan
bahwa perasaan pemerintah hanyalah untuk rakyat seorang, tidak ada yang lain. Bahkan
jurus kuchiyose edo tensei nya Orochimaru
digunakan oleh presiden ke-7 (padahal hokage ke-7, Naruto, saja tidak bisa
menguasai jurus itu). Bangkai PKI yang telah lama mati bisa dihidupkan kembali.
Dapat dikatakan berhasil memang, mendengar pki bangkit lagi, cukup membuat
merinding ketakutan.
Lagi2 media punya andil besar. blow
up opini, review sejarah (baca: propaganda) hubungan PKI dengan orde baru,
sampai cerita2 horornya media lah yang memfasilitasi.
Akibatnya, nyaris semua media kehilangan
kepercayaan dari rakyat. Media yang diharap2kan menjadi telinga dan mata rakyat
berbalik menjadi toa berisik yang mempengangkan rakyat, menjadi penutup mata
sehingga fakta yang dicari cari melalui media hanyalah ramuan kepentingan-kepentingan.
Ktika ada suatu berita heboh, stigma rakyat langsung "oh ini kepentingan
ini, oh ini kepentingan itu.
***
Ironis memang ketika kritik saya tentang media
saya sampaikan lewat media. Tapi nggak juga sih, karena saya sangat percaya
masih ada kok media yang bener2 independen, faktual dan bisa dipercaya. Dan
harapannya media2 kayak gitu bisa tetep dan semakin eksis di jagat kewartaan.
Komentar
Posting Komentar