Oleh : Gigih Revanda
Tukang
sayur
penunggu dini hari sampai siang hari, kebanyakan dari kita (apalagi yang
tinggal di komplek perumahan) pasti pernah mersasakan malasnya pergi ke
pasar-pasar dan mendengar suara panggilan mereka, Sayuuuur. Sayur Bu. begitu
khas teriakan mereka. Dulu, waktu saya masih bekerja kantoran dan masih tinggal
bersama orang tua, suara teriakan ini adalah salah satu suara yang hampir
setiap pagi saya dengarkan. Suaranya mengalahkan indahnya suara kicauan burung
di pagi hari. Kadang-kadang saya sampai merasa jengkel dibuatnya, apalagi kalau
si tukang sayur pas di dalam pasar, suaranya lumayan keras loh. Walaupun begitu
mama saya dan para saydara selalu memperhatikan si mba tukang sayur, karena
memang lokasi pasar cukup jauh dari perumahan di mana kami tinggal.
Tidak sekali dua-kali, hampir setiap libur kerja saya
disuruh belanja oleh nyokaf tersayang, dan sebagai anak yang baik hati dan
tidak sombong tentu saya bersedia. Tapi sebenarnya saya paling malas kalau
disuruh belanja, selain karena saya merasa bahwa belanja sayur itu ga gue
banget, si mba tukang sayur ini suka sekali bicara panjang lebar dan bercerita
tentang kisah-kisahnya, ditambah lagi ibu-ibu tetangga selalu ramai mendengar ceritanya.
Kisah nyata ini terjadi di tahun 2016 silam. Pada hari
itu si tukang sayur saya pergi ke Pasar sambil memanggil para customer dengan
suara khasnya. Berhubung karena mama saya lagi keluar rumah dan saya sedang libur
sekolah, akhirnya saya disuruh untuk berbelanja hari itu. Beruntung hari itu
para ibu tetangga belum banyak, jadi saya pikir akan bisa cepat-cepat
menyelesaikan tugas untuk berbelanja kali ini. Itu yang saya harapkan!
Harapan itu buyar ketika si mba tukang sayur ini (sebut
saja Bunga) mulai bercerita tentang kegiatannya sehari-hari. Haduh dia mulai
deh! Tapi anehnya kali ini ketika dia bercerita, saya tidak bosan mendengarnya
bahkan tertarik untuk menggali informasi lebih banyak. Ini fenomena yang tidak
bisa saya jelaskan sampai hari ini. Dia bercerita tentang awal memulai usaha
jualan sayur, tentang modalnya yang harus meminjam ke teman, tentang jadwal
bangun dan belanja yang pagi-pagi sekali, tentang lokasi tempat salah satunya
di pasar kesayangannya Si mbah ini yang masih waktu zaman-zaman preseiden SBY.
Saya merasa terenyuh, terharu, dan ingin mendengar
ceritanya lebih banyak. Saat itu saya berpikir, mungkin dengan mendengar
kisahnya, dia akan merasa lebih tegar menghadapi kehidupan yang sangat terharu,
Bunga masih terlihat begitu Kuat dan sehat, tapi dia harus membanting tulang
bekerja berjualan sayur dengan baju yang terlihat dekil dan kusam, dengan
sendal jepit yang terlihat usang, dengan tangan yang kotor, plus bau ikan yang
amis, demi mencari sesuap nasi. Tidak terasa saya belanja sayur saja sudah
menghabiskan waktu 30 menit, dan mungkin akan lebih lama lagi jika saja waktu
itu Bunga tidak menyebutkan angka penghasilannya per bulan.
Dari pembicaraan yang hanya 30 menit bersama Bunga, saya
banyak sekali belajar hal penting tentang kehidupan dan tentang dunia usaha
yang selama ini saya tidak mengerti. Bukan hanya tentang pelajaran hidup,
wanita kuat dan semangat tinnggi inilah yang menginspirasi dan memotivasi saya
untuk segera memiliki usaha sendiri. Dari sekian banyak pelajaran hidup yang
Bunga berikan, setidaknya ada beberapa poin yang menurut saya paling penting
dan menginspirasi saya.
Hidup Itu Harus Terus Belajar dan Bekerja/ Berusaha
Pelajaran hidup pertama yang saya dapatkan dari Bunga
adalah tentang kerja keras dan keinginan untuk terus belajar. Bunga bercerita
bahwa dia berasal dari keluarga yang ekonominya pas-pasan.
Setahun pertamanya di Probolinggo, Bunga bekerja sebagai
tukang cuci pakaian harian yang gajinya selalu habis untuk biaya hidup
sehari-hari. Kemudian Bunga diangkat menjadi pembantu rumah tangga oleh seorang
yang kaya dan baik hati di sebuah komplek perumahan. Bekerja setahun sebagai
pembantu membuatnya mengenal banyak orang, termasuk seorang ibu tukang sayur
yang kemudian menjadi GURU-nya pertamakali di dunia bisniswalaupun cuma jualan
sayur, sebut saja nama guru ini Melati. Bunga sering belajar diam-diam ke
Melati tentang bagaimana cara memulai usaha jualan sayur. Dan untungnya Melati
memiliki jiwa pengajar yang baik, dia sadar bahwa ilmu bisnis sayurnya tidak
akan dibawa mati.
Dua tahun menjadi pembantu rumah tangga, akhirnya Bunga
memutuskan untuk berhenti dan mulai mencoba berjualan sayur di komplek-komplek
perumahan. Awal-awal berjualan sayur, hasil penjualannya tidak bagus. Bahkan
tidak jarang dia harus menjual murah dan mengambil untung sangat kecil agar
dagangannya laku. Dengan untung yang sangat kecil, apakah Bunga menyerah?
Tidak, dia tetap berjualan sayur, tapi mulai melakukan inovasi-inovasi kecil
dalam strategi pemasarannya.
Bagaimana mungkin wanita muda penjual sayur yang tak
lulus SMA, yang wajahnya tampak kumal dengan sandal jepit swallow-nya yang
usang dan sempat saya kasihani ini punya penghasilan berkali-kali lipat lebih
besar dari gaji orangtua saya. dan menurut beberapa teman saya gaji segitu
sudah cukup besar untuk ukuran seorang pria yang masih sehat, kuat, pantang
menyerah seperti saya.
Terus terang saat
itu saya tidak jadi kasihan pada Bunga, justru saya merasa sedikit minder
mendengar kisah perjalanan bisnis sayurnya yang penuh liku-liku. Dan ternyata
penghasilannya dari profesi yang dianggap remeh banyak orang itu jauh lebih
besar dari gaji bulanan orangtua saya. Percakapan saya dengan Bunga berakhir di
sana, setelah membayar barang yang saya beli, saya langsung pamit untuk pulang
ke rumah membawa seikat sayur, sebungkus tahu tempe, dan beberapa bumbu dapur,
disertai perasaan berkecamuk di dalam hati. Pelajaran hidup dan inspirasi
bisnis dari tukang sayur ini sangat berarti dan menginspirasi saya untuk segera
punya usaha sendiri, HARUS!
Komentar
Posting Komentar