oleh : Tri Widagdo
Kebebasan berekspresi dan berpendapat
sekarang ini menjadi satu hal yang sangat
mahal harganya. Meskipun kebebasan itu sudah diatur dalam UU No.12 Tahun 1998,
nyatanya sungguh berbanding terbalik dengan realita yang ada.
Tak henti-hentinya kasus persekusi
terjadi kepada pihak-pihak yang menyuarakan pendapatnya. Belum lama ini terjadi
pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara USU (Universitas Sumatra Utara).
Seluruh pengurus dari lembaga tersebut dipecat oleh Runtung Sitepu, Rektor USU
lantaran sebuah cerita pendek (cerpen) yang diterbitkan oleh Suara USU di
media online web suarausu.co.
Cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak
Kehadiran Diriku di Dekatnya” menjadi sebab dipecatnya seluruh pengurus Suara
USU. Cerpen yang diterbitkan pada 12 Maret 2019 dan ditulis Yael Stefani Sinaga
oleh Runtung Sitepu dianggap mengandung konten pornografi dan mengkampanyekan
gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Awalnya cerpen ini tak
banyak dipermasalahkan. Namun, setelah cerpen tersebut dipromosikan di media sosial
Suara USU (18/03) dengan caption
“Kalau setiap hari bawa-bawa agama, lama-lama Tuhan bosan juga” cerpen tersebut
langsung menjadi sebuah polemik dan tak sedikit pula yang bahkan sampai
mereport media sosial Suara USU.
Keesokan harinya (19/03) setelah cerpen
dipromosikan di media seosial, pengurus Suara USU dipanggil oleh rektorat.
Dilansir dari Tempo.co Runtung Sitepu berujar “Waktu
saya tahu tadi, saya perintahkan panggil orangnya. Cabut SK (Surat Keputusan)
dari Suara USU, karena menurut saya kalau sudah begitu muatannya, tidak lagi
mencerminkan visi misi USU”. Yang memenuhi panggilan dari rektorat yaitu
pemimpin redaksi dan pemimpin umum yang juga sebagai penulis dari cerpen
tersebut. Dikutip dari suarausu.co pemimpin redaksi menjelaskan bahwa konten
yang dimuat tidak bermaksud untuk mengkampanyekan kelompok LGBT.
Rektor USU meminta kepada Suara USU
untuk mencabut terbitan cerpen tersebut, namun awak redaksi Suara USU tetap
mempertahankan cerpen tersebut karena cerpen tersebut dinilai tidak ada
kesalahan didalamnya. Dilansir dari tirto.id, akibatnya (20/03) media web suarausu.co
disuspensi oleh penyedia web atas sepengetahuan rektor. Namun media tersebut
(23/03) dapat diperbaiki oleh awak Suara USU dan bisa diakses kembali. Akhirnya (25/03) seluruh pengurus
dari Suara USU dipanggil oleh rektorat yang menghasilkan keputusan rektor
memecat atau memberhentikan seluruh pengurus LPM Suara USU yang berjumlah 17
mahasiswa.
Isi dari cerpen yang ditulis oleh Yael
dianggap mengandung unsur pornografi. Kalimat dari cerpen yang dianggap
mengandung unsur pornografi yaitu
“Kau dengar ? tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan
barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikan. Rahimmu akan tertutup.
Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu”
Sebelum membahas terkait isi tulisan
tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu apa itu pornografi. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pornografi merupakan penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi.
Dalam kutipan cerpen diatas beberapa kata yang dianggap mengarah pada
pornografi yaitu “barangnya”, “temapatmu”, “rahim” dan “sperma”. Kata
“barangnya” dalam hal ini merujuk pada alat kelamin laki-laki dan “tempatmu”
menggambarkan kelamin perempuan. Dalam hal ini penulis berusaha untuk
menggambarkan sesuatu yang kasar menjadi lebih halus. Apabila kedua kata diatas
ditulis secara eksplisit tentu akan membuat cerpen tersebut terkesan sangat
kasar. Selanjutnya yaitu kata “rahim” dan “sperma” merupakan dua kata yang
sudah tentu tak asing lagi bagi kita, bahkan anak SMP
(Sekolah Menengah Pertama) saja sudah sering mendengar kata tersebut di dalam
kelas. Lalu pantaskah seorang pemimpin dari perguruan tinggi yang seharusnya
melindungi mimbar akademik menilai bahwa hal tersebut termasuk poronografi ?
dan apakah pembaca akan tergugah birahinya
dengan membaca kalimat-kalimat yang seperti diatas?
Selain dinilai memuat unsur pornografi cerpen ini juga dianggap
mengkampanyekan kelompok LGBT.
“Apa yang salah? Bedanya aku hanya tidak
menyukai laki-laki tapi aku menyukai perempuan walau diriku sebenarnya juga perempuan”
Kalimat tersebut jika dibaca secara mentah-mentah memang menggambarkan pemberontakan
seorang LGBT. Namun, LGBT bagi penulis bukanlah tujuan utama dari penulisan
karyanya. Dalam kalimat penutup cerpen penulis menegaskan apa yang menjadi
tujuan awal ia menulis cerpen ini.
“Tiba-tiba seorang menyeretku dengan
paksa. Baju yang baru kujahit koyak sebagiannya. Aku didorong ketengah-tengah
tamu yang datang. Sejuta mata memandangku dengan
amarah. Hujatan dan ludah yang keluar dari mulut terus datang menghampiri. Tidak ada satupun yang iba menolong”
Dalam kalimat penutup tersebut penulis
berusaha menggambarkan bagaimana nasib kaum minoritas. Yael Stefani dilansir
dari Tempo.co mengutarakan bahwa cerpen tersebut tidak bermaksud pro LGBT,
tetapi lebih ke arah persekusi terhadap kaum minoritas, bagaimana melawan
diskriminasi yang terjadi terhadap kaum minoritas, dan LGBT diambil sebagai contoh.
Hal ini menunjukan betapa pentingnya
membaca suatu tulisan secara tuntas, dengan
membaca secara tuntas kita akan mendapatkan apa maksud
yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis. Tidak seperti yang dilakukan
oleh Runtung Sitepu. Dilansir dari Tempo.co Runtung mengaku belum membaca
secara langsung cerpen Suara USU, tapi dari laporan wakil rektor 1, cerita yang
diposting dianggap mendukung kelompok LGBT dan mengandung unsur pornografi.
Runtung Sitepu kemudian secara langsung memutuskan untuk mencabut SK
Kepengurusan LPM Suara USU.
“Kebebasan tetaplah kebebasan, tak ada
satupun kuasa yang mampu melunturkannya”
Komentar
Posting Komentar