Oleh : Vina Soraya
Aku bukan lagi anak SMA usiaku sudah 20 tahun. Sudah tiga tahun aku berkuliah dan merantau dikota orang. Disinilah awal kisahku menemukan jatidiri dan kehilangan pegangan hidupku. Setiap hari yang kurasa hanya cemas dan gelisah. Sungguh rasa ini dilluar kendaliku.
***
Tiga
tahun yang lalu, aku berangkat merantau di sebuah kota tempat kuliahku. Umumnya
merantau akan menjadi suatu hal berat bagi mereka yang terbiasa menggantungkan
hidupnya kepada orang tua. Namun ini tidak berlaku padaku karena aku sudah
terbiasa mandiri sejak kecil. Bagaimana tidak mandiri, ibuku sudah damai
dipelukan Tuhan sewaktu aku masih bersekolah dibangku SMP (Sekolah Menengah
Pertama) sehingga aku lah yang harus mengurusi seluruh pekerjaan rumah .Aku
anak kedua dari dua bersaudara, kakak ku laki - laki sehingga satu rumah hanya
aku sendiri yang wanita. Jadi, mau tidak mau akulah ibu rumah tangga pengganti
ibuku sejak dahulu. Kepergian ibuku membuatku sangat terpukul. Karena beliaulah
yang selalu menyabari diriku, beliaulah yang selalu memarahi diriku ketika aku
membandel, dan beliaulah yang mengajarkan ketaatan beragama.
Bisa
dibilang ibuku lah segalaku. Tapi bukan berarti aku tidak menyayangi ayahku,
aku tidak bisa terpisahkan dengan sesosok ayahku. Aku sangat menyayangi ayahku.
Ayahku seorang lelaki menjelang usia senja yang sangat aku ketahui beliau
sesosok pekerja keras, jarang mengeluh dan tanggung jawab. Dimataku merekalah sosok
hebat yang ada dihidupku. Ayah, ibu, dan kakakku sangat menyayangiku. Ayahku
pernah menuturkna begini padaku
“Dulu kehadiranmu sangat dinantikan oleh ibu
dan kakakmu nduk. Kakakmu setiap hari merengek ingin memiliki adik, ibumu setiap
hari selalu berdoa dan minta didoakan agar secepatnya mendapat adik untuk
kakakmu itu. Bertahun – tahun ayah dan ibumu berusaha tapi belum juga diberi
keturunan lagi, hingga masa ayah dan ibumu pasrah kepada sang kuasa. Ternyata
dari kepasrahan hati tersebut Tuhan menghadirkan kamu nduk di hidup ayah, ibu,
dan kakakmu. Kehadiranmu semakin menambah keharmonisan keluarga ini”
Kebersamaan
kami berempat masih terekam jelas di kepalaku. Ibu dan ayahku selalu menanamkan
untuk selalu mensyukuri nikmat Tuhan yang telah diberikan. Termasuk mensyukuri keharmonisan
keluarga kami ini. Apapun tentang kami
berempat adalah berharga. Harus kehilangan salah satu bagian penting dari hidupku
pastilah menyisakan kesedian. Bukan hanya kesedihanku tetapi juga kesedihan di
hati ayah, dan kakakku.
***
Diruang
yang berukuran 3x3 meter ini awal dari rasa kejenuhan bersarang di hati dan
fikiranku. Jika sebelumnya aku sangat tersibukkan dirumah dengan segala
pekerjaan yang melelahkan tetapi membuat nyaman. Dan sekarang aku hidup di
ruang kecil ini, yang aku rasa seperti
menjadi manusia pemalas yang hanya tersibukkan belajar kemudian tidur. Ah sudah
seperti pengangguran saja aku ini. Jika biasanya aku harus memasak dan membereskan
rumah kali ini kebiasaan itu sudah tidak lagi ada, aku hanya mengurusi diriku
sendiri. Bosan sangat amat bosan! Rasanya aku tidak betah pada suasana yang seperti
ini. Aku sangat rindu suasana rumah. Sangat amat rindu. Keadaan ini membuat aku
berfikiran untuk pulang ke rumah lalu bekerja saja. Toh sekarang ijasa SMA juga
sudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Ah tapi mana mungkin aku mengecewakan
ayah dan kakakku yang menjadikanku harapan. Bagaimana lah aku ini…
Sore
itu ditemani suara rintikan hujan dan sendunya suasana langit. Aku kembali
merindukan rumah dan suasananya, sangat amat rindu.
“Assalamualaikum
yah, disini hujan disana gimana ?”
“Wallaikumsallam,
disini panas banget nduk”
“Yah....”
(Belum
sempat aku berbicara kalau aku bosan, ingin berhenti kuliah, dan melanjutkan
kerja tiba tiba ayah sudah menyaut dengan topik bicara lain)
“Nduk
gimana kuliahmu ? Betah kan disana ?”
hatiku
tergetar, tidak tega untuk bilang aku tidak krasan dan ingin pulang
“Iya
yah alhamdulillah, ayah gimana ? Sehat disana ?”
“Alhamdulillah
ayah baik nduk, yaudah ayah mau ke masjid dulu. Jangan lupa sholatnya ya nduk”
Obrolan
dengan orang tersayangku sore itu sangat singkat dengan kondisiku yang masih
membetah betahkan. Aku sebenarnya tidak menginginkan rasa ini tapi mengapa terus
menghamipirku. Adzan magrib pun sudah terdengar tapi hujan tak kunjung reda. Suasana
itu menambah ketidak betahanku. Setelah aku sholat magrib, tiba tiba gelap
lampu kamar dan sekelilingku. Bingung, Cemas, dan takut yang kurasa saat itu.
Setelah dilemma dengan rasa kebosanan sekarang mati lampu yang membuatku
membuat sangat takut. Diselimuti rasa yang membuat hati dan fikiran tidak
nyaman aku memtuskan untuk tetap dikamar dengan suasana mencekap. Yang aku
kerjakan saat itu hanya diam. Dalam diamku aku berusaha memejamkan mata.
Bayangan itu hadir, kebersamaan bersama ayah, ibu, dan kakakku. Malam itu malam
yang sulit di lupa. Hatiku ingin segera pulang, aku sangat merindukan rumah.
Aku tidak betah disini. Tak sadar air matapun menetes hingga aku tertidur. Aku
bermimpi sewaktu tidur didatangi ibuku. Kita tidak saling berucap, hanya
bertatap. Air mataku menetes, aku sangat rindu sosokmu bu.
***
Kegelisahan
dan keresahan ini membuat fikiranku terpecahkan.
“Sebenarnya
ini bukan sepi, ini bukan kebosanan. Aku saja yang terlalu menjadi katak dalam
tempurung. Mengapa memelihara malas ? Mengapa aku selalu takut melihat dunia
luar ? padahal jika aku hanya diam aku tidak akan tahu dan seakan aku tidak mau
tahu dunia luar. Ah tuhan bagaimana lah aku ini. Aku tidak boleh diam, aku
harus menyibukkan diriku sendiri. Aku harus berkembang. Aku tidak boleh
mengeluhkan rindu rumah, Oke aku harus berkelana mengenali dunia luar yang
sebelumnya aku tak ketahui”-Pintaku pada didriku sendiri sembari bercermin.
Setelah
fikiran itu muncul aku akhirnya memantapkan diri untuk mengikuti satu
organisasi di kampusku. Ini bukan hal mudah, karena aku tidak memiliki pengalaman
berorganisasi sebelumnya. Disini aku berproses soal kepemimpinan dan
kekeluargaan. Kekeluargaan yang aku rasakan disini berbeda, jika dikeluargaku
hanya teriri empat orang disini banyak orang banyak cerita dan banyak keluh
kesah. Aku sudah merasakan mereka keluarga sehingga aku semakin betah
diorganisasi ini.
Banyak
laki – laki di organisasi ini. Aku salah satu wanita yang memiliki paras
cantik, pembawaanku juga menyenangkan sehingga tak heran jika aku banyak yang
mendekati. Dari sekian yang mendekatiku aku tertarik pada ketua dari organisasiku
tersebut. Namanya Pram, dia lebih tua satu tingkat dari aku. Aku biasa
memanggilnya kak. Kak Pram lah yang mengajarkan aku bagaimana menjadi pemimpin
yang baik, mengajarkan bagaimana menjadi pendengar yang baik, dan mengajarkan
bagaimana aku menjadi contoh yang baik. Awalnya aku dan kak Pram hanya sebatas
saling berbagi cerita dan pengalaman, tapi ternyata kebiasaan itulah yang
menimbulkan rasa nyaman. Setiap cerita yang aku punya selalu tidak bisa aku bendung
untuk tidak menceritakan padanya. Oh Tuhan apa ini pertanda jatuh hati pada
seorang lelaki, baru ini aku merasakannya.
Hari - hariku sangat mengasikkan setelah aku
mengenal kak Pram. Rasa yang menyesakkan dada perihal rumah tidak lagi kurasa,
aku benar-banar menikmati kehidupanku disini. Aku kembali menemukan harapan. Jika
sebelumnya aku dan kak Pram hanya mengobrolkan pengalaman dan cerita hidupnya,
kali ini berbeda. Kak Pram menatapku dengan penuh hasrat.
“Bisakah
kita lebih dari sekedar senior junior ?” Lontaran pertanyaan kak Pram kepadaku
“Ah
maksud kak Pram bagaimana ? saya rasa aku lebih nyaman begini kak, memangnya
harus bagaimana lagi ? Apa yang perlu dirubah dari kita ?” Timpalku
(Rasanya
sangat deg deg an, mana mungkin aku segampang itu merespon yang kak Pram maksud,
ya meskipun aku memang mulai suka)
“Jika
tidak, bolehkah aku menjadi teman hidupmu ?”
(Semakin
bingung aku dibuatnya, harus aku jawab apa pertanyaan itu)
“Why
not ? Siapapun berkesempatan untuk menjadi teman hidupku kak. Tapi aku tidak
mengerti yang kakak maksud itu teman hidup bagaimana. Untuk saat ini rasaku
cukup aku yang tahu, aku tidak ingin jika dilebihkan nanti justru ada yang
berkurang. Bisakah alasanku ini diterima ?”
(Percayalah
aku mengatakan begitu penuh keraguan dan tidak tahu benar atau salah, Gimana
sih aku ini)
“Pantas
saja banyak lelaki tak mau mendekatimu” Ucap kak Pram sembari memandangku
“Lah
memangnya kenapa kak ? ini kan soal prinsip hidup. Terserah pribadi masing –
masing dong kak. Apanya yang salah dari aku ? apa kakak tidak terima akan
jawabku ?” (Aku sedikit naik darah setelah nada kak Pram sedikit sadis)
“Tidak
ada yang salah, kamu berbeda. Sangat istimewa, menjaga, dan berpendirian. Aku
semakin yakin denganmu. Usahaku hanya satu, menegomu pada ayahmu dengan jaminan
seperangkat alat sholat” Ucapan kak Pram kepadaku dengan nada lembut dan paras
wajah yang tersenyum kecil
“Ah
bisa aja kak. Sudah jangan kita memikirkan masalah rasa. Cukuplah aku dan
sepertiga malamku yang tahu”
Setelah
aku dan kak Pram mengobrol masalah rasa kemudian sore harinya aku dan kak Pram
melepas penat menuju pantai. Sesampainya dipantai kita saling bersanding
menatap laut dengan garis horizontalnya
“Kamu
berbakat dalam hal memimpin, berproseslah!” Ucap kak Pram padaku
“Maksud
kakak berproses bagaimana ? Bukannya aku memang masih berproses dalam tahap
organisasi ini ?”
“Kemarin
ada yang mengusulkan kamu sebagai penerusku di organisasi ini, gimana mau ?”
“Mana
mungkin kak ?” (Nadaku sedikit sinis)
“Iya
mungkin saja, mana mungkin aku jatuh hati padamu kalau kamu tidak istimewa”
“Bukan
soal rasa, tolong bedakan kak! Disini aku wanita, masih banyak lelaki yang
berpotensi sebagai ketua. Kenapa harus aku ?!?!!!!”
(aku
kesal karena aku tidak yakin akan diriku sendiri)
“Sudah
pikirkan saja dulu”
Seketika
suasana hening. Aku menatap garis horizontal bumi sembari melamun manja
memikirkan apa saja yang kak Pram ucapkan hari ini. Setelah lama diam – diaman aku
dan kak Pram pun bergegas meninggalkan pantai. Dijalan aku terus diam, aku
kesal sangat kesal.
***
Hari
terus berlalu. Kak Pram terus memupuk perhatiannya kepadaku, tapi aku
sebenarnya tidak membutuhkan itu. Aku terlalu tidak mau tahu soal rasa. Karena
aku masih ingin mengurusi organisasiku ini. Hubunganku dengan teman teman se
organisasiku semakin rekat. Hingga suatu ketika aku dipercayai rekan
organisasiku sebagai ketua. Menjadi ketua haruslah banyak pengorbanan, terutama
waktu. Banyak waktuku yang semakin tersita di organisasi ini setelah aku
menjadi ketua. Hari – hariku dipenuhi rapat. Hingga suatu ketika ponselku
berdering kala aku sedang rapat. Akupun segera ijin untuk mengangkat telfon
yang masuk.
“Assalamualaikum,
iya yah ada apa ?”
“Wallaikumsallam,
nduk ayah kangen. Kamu apa gak ada liburnya ?” Ucap ayah padaku dengan nada
sedikit lirih
“Maaf
yah disini lagi ngurusin acara ini, ya gimana lagi yah”
“Yaudah
gak apa - apa nduk”
“Iya
yah. Yah sebentar ya nanti aku telfn lagi”
tut
tut tut
Ternyata
ayah telah lebih dahulu menyudahi obrolan ini. Satu minggu setelah telfon itu
aku segera menyempatkan pulang. Aku sangat rindu ayah, kakak dan rumah.
***
Desa
ini, rumah ini menyimpan banyak kenangan. Terlihat binar kesenangan di wajah
ayahku tatkala aku sampai rumah
“Assalamualaikum”
Ayahku
langsung menciumku. Iya ayahku memang sangat menyayangiku. Rumah ini sudah
sangat dipenuhi debu, iya karena satu rumah tidak ada perempuannya. Rumah ini terakhir
dibersihkan waktu liburan semester 4. Sesampainya dirumah aku bercerita tentang
kesibukanku. Ayahku sangat mendukungku sebagai ketua. Aku heran sama ayahku
ini, semakin aku dewasa semakin sedikit waktunya untuknya tpi beliau tidak
pernah protes. Antara aku ayah dan kakak ku memiliki sifat yang sama, sama –
sama suka berhubungan sosial jadi wajar saja ayahku sangat memaklumi jika aku
sedang sibuk di kampus.
Obrolan kami bertiga kala itu di
lakukan di ruang tengah.
“Dek,
belum ada pacar ?’ Gurauan kakakku kepadaku
“Ah
apa sih kak, aku masih tidak sempat” Jawabku sembari cengar cengir
***
Setelah
kembali ke kota aku menjalani hari – hariku sebagai mana biasanya. Aku disegani
di organisasiku. Urusan kuliah aku juga termasuk mahasiswa berprestasi. Hubungan
dengan ayah dan kakakku semakin harmonis. Kak Pram semakin menunjukan
keseriusannya kepadaku. Tapi ada yang
kurang, ada yang hilang. Hal ini aku sadari setelah ada acara di organisasiku.
Acaranya senang-senang menginap di vila bersama seluruh pengurus, acara
tersebut sangat meriah dan mengajarkan rasa kekeluargaan. Suasana kala itu
ramai, tapi aku merasakan hampa. Ini bukan urusan cinta, keluarga, organisasiku
tapi soal hatiku. Iya! Hatiku hampa. Seperti ada yang lama aku biarkan
bersarang kemudian menghilang. Kenapa aku dihantam rasa ini ketika semua sudah
kudapatkan. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku cakap berbicara di depan banyak
orang, cakap mengatur organisasi, semua aku dapatkan. Semua kudapatkan. Tapi
mengapa rasa ini datang ?
***
Bingung!
Sangat amat bingung !
Lebih
dari tidak nyaman !
Hari
demi hari telah ku lalui tapi yang ada aku semakin hampa, semakin kosong, aku
terlalu gila dunia. Sore itu aku memutuskan untuk meninggalkan agenda rapat dan
pergi kesebuah tempat yang sepi. Hanya aku, tidak ada kak Pram, tidak ada
mereka yang selalu memanggilku ketua, dan tidak ada jabatan yang membuatku
segan. Merenung! Aku merenung. Apa yang salah dari diriku ini hingga kehampaan
dihatiku menghampiri meski sekelilingku peduli dan menyeganiku. Setelah aku
lama berdiam aku terfikirkan satu hal. Aku terlalu tersibukan masalah hubungan
sosial saja. Aku terlalu terobsesi untuk membuat organisasiku semakin bagus.
Aku sering terlalu lelah kemudiah terlalu lelap hingga setiap subuh terlewat.
Selama menjadi ketua aku semakin meninggalkan tuhan. Aku semakin jarang mengingat
penciptaku sendiri. Apakah aku seorang panutan yang munafik ? Aku mengajarkan
banyak nilai kehidupan pada mereka tapi aku sendiri tidak mengetahui hakikat
hidup ini dari siapa dan harus bagaimana.
Tidak ini tidak bisa !
Aku
harus kembali memperbaiki hubunganku dengan tuhanku. Aku harus segera
memperbaikinya. Karena jika aku terus menunda, aku akan semakin terdiam di
kehampaan. Hal kecil yang aku perbaiki adalah sholatku. Bagaimana bisa
kewajibanku kepada tuhanku saja aku tinggalkan. Selain aku berusaha memperbaiki
urusan sholatku aku mencoba menjaga lisanku. Tapi disini hatiku tetap seperti
tidak bisa merasakan kuasa Tuhan. Aku seperti diacuhkan oleh Tuhanku sendiri.
Aku seperti sudah tak dipedulikan oleh Tuhanku.
“Tuhan
ampunilah aku tuhan, jangan biarkan aku terus meninggalkan. Tuhan aku mohon
kembalilah. Kembalilah di hatiku, kembalilah terus ku ingat. Maafkan aku tuhan”
- pintaku di sepertiga malamku
***
Aku ini bagaimana
Mengapa tuhan kubuat murka dengan
perbuatanku
Apa sebenarnya yang aku kejar ?
Sudah benar kujaga dihati tapi aku
malah melupakan tanpa kusadari
Justru sekarang ini aku terlalu menjaga
hati ciptaan tuhan
Ah aku ini payah
Aku bisa mengatur orang-orang
disekelilingku
Aku bisa berhubungan baik dengan
seluruhnya orang yang ada dihidupku
Aku sudah bisa memimpin
Tapi aku terlalu sibuk
Hingga membuat hatiku tidak lagi
menjadi milik tuhan
Maafkan aku tuhan
Aku terlalu sibuk dengan duniaku saja
Ampunilah aku Tuhan
***
Sajak
yang aku tulis ketika sendiri di kamar. Aku telah mendapat segalanya, tapi
hatiku dipenuhi kehampaan. Yang ada diotakku hanya bagaimana agar aku terlihat
lebih baik di hadapan ciptaan tuhan hingga aku lupa bahwa dihadapan tuhanlah
seharusnya aku begitu. Untuk apa aku mendapat segalanya jika hati dan fikirku
tidak pernah mengingatNya. Sungguh payah aku ini….
Tuhan
maafkan jika aku sempat ingkar.
Datanglah
di sepertiga malam ku.
Dengarlah
curahan hatiku.
Menetaplah
di hatiku.
Komentar
Posting Komentar