Oleh :Rizki Gangsar S.
Sumber : http://majalahsedane.org/merdeka-tidak-ada-pada-buruh/
“Buruh, tani, mahasiswa, rakyat miskin kota
Bersatu padu rebut demokrasi
Gegap gempita dalam satu suara
Demi tugas suci yang mulia”
Bait diatas sudah tidak asing didengar terutama di kalangan mahasiswa. Lagu berjudul “Lagu Pembebasan” atau sering dikenal juga dengan “Buruh Tani” tersebut mengandung untaian lirik yang sarat akan makna. Pada bait kedua terdapat baris yang bisa dikatakan menjadi cita-cita semua masyarakat bahkan Bangsa Indonesia. “Hari-hari esok adalah milik kita, terciptanya masyarakat sejahtera”. Kata “kita” mengacu pada siapa saja yang disebutkan pada baris pertama lagu, yaitu buruh, tani, mahasiswa, dan rakyat miskin kota. Apakah harapan yang dituangkan Safi’i Kemamang ini sudah terpenuhi? Terutama pada kaum buruh karena saat ini bertepatan dengan Hari Buruh Internasional yang diperingati setiap tanggal 1 Mei.
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Buruh mengambil peran penting dalam pembangunan di Indonesia. Kita tahu bahwa pemerintah menggencarkan pembangunan di berbagai sektor dan hampir di semua sektor memerlukan kontribusi buruh. Aturan perlindungan dan pemberian hak-hak buruh sudah diatur dalam undang-undang yang baru-baru ini menimbulkan banyak kontroversi sejak perancangan sampai pengesahannya, yaitu Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut beberapa pihak, undang-undang cipta kerja tersebut dirasa sudah cukup untuk menjamin kesejahteraan buruh. Namun pihak lain berpendapat bahwa undang-undang cipta kerja memiliki celah yang bisa dimanfaatkan pemberi kerja untuk bertindak sewenang-wenang terhadap buruh. Masih banyak tuntutan dan ketidak percayaan yang timbul dari pengesahan undang-undang tersebut. Dapat dikatakan, dalam kenyataannya, belum ada regulasi yang benar-benar melindungi hak-hak dari buruh.
Isu yang marak dan sangat dikhawatirkan dikalangan buruh adalah isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dilansir pada laman www.cnnindonesia.com, pada tahun 2020, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menerima laporan beberapa sektor yang telah melakukan PHK seperti industri tekstil, garmen, otomotif, hingga ritel. Efek dari pandemi juga semakin meningkatkan peluang PHK. Apabila pengeluaran perusahaan lebih besar dari pemasukan, tidak menutup kemungkinan upaya yang dilakukan perusahaan adalah memangkas jumlah pekerja untuk mengefisiensi pengeluaran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah usia kerja yang terdampak pandemi covid-19 pada Agustus 2020 berjumah 29,12 juta orang. Sebanyak 24,03 juta orang mengalami pengurangan jam kerja. Ada beberapa kasus, perusahaan memberhentikan sementara buruhnya, namun setelah beberapa lama perusahaan tidak pernah lagi memberi kabar kapan buruh tersebut kembali bekerja.
Kesejahteraan buruh mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harusnya tegas dalam melindungi dan memberikan hak-hak buruh. Memang benar regulasi sudah dibuat. Namun, dalam pelaksanaannya seringkali oknum mengambil celah untuk kepentingan pribadi. Pengawasan dari pemerintah harus sampai ke elemen terkecil agar implementasi dari produk hukum yang telah dibuat dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Garis-garis koordinasi maupun perintah dengan berbagai elemen yang ada harus benar-benar terlaksana. Selain pemerintah, pemberi kerja atau perusahaan harus mengayomi buruh. Meskipun perusahaan yang membayar buruh, perusahaan tidak dapat semena-mena dalam memperlakukan buruh. Buruh memiliki hak-hak yang harus mereka dapat.
Komentar
Posting Komentar