Inisial MDS menjadi sorotan publik setelah aksinya melakukan penganiayaan terhadap anak berusia 17 tahun berinisial D viral di media sosial. Pelaku merupakan anak dari seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
Publik geram setelah tahu MDS suka pamer harta di media sosial. Publik juga ingin mengetahui asal-muasal kekayaan orang tua pelaku yang mencapai Rp56 miliar. Paduan anak-bapak ini kemudian menggerus kepercayaan publik terhadap otoritas pajak. “Saya menyadari bahwa tindakan putra saya yang salah sehingga merugikan orang lain, mengecewakan, dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat,” kata orang tua pelaku dalam video singkat yang dibagikan staf khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, Kamis, 23 Februari 2023. Kementrian keuangan langsung mencopot orang tua pelaku sebagai pejabat eselon 2 yang menjabat sebagai Kepala Bagian Umum di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan.Mengenai hal tersebut, pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, berspekulasi bahwa kasus ini akan merambat pada tingkat kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak. “Hak masyarakat untuk kecewa, saya sendiri kecewa,” kata dia kepada wartawan, Senin (27/2/2023).
Terlepas dari kasus di atas, penulis ingin memberikan
pandangan mengenai mengapa orang kaya dapat bersikap semena-mena dengan
mengandalkan kekayaannya. Orang dengan kekayaan di atas rata-rata cenderung
memiliki sifat serakah.
Menurut David M. Mayer, seorang professor di Universitas Michigan, sifat
serakah mendorong mereka untuk lebih permisif terhadap pelanggaaran norma,
terutama pelanggaran hukum. Mereka memiliki beberapa privilese. Bentuknya dapat
bermacam-macam, ada berupa harta, jabatan, akses ke institusi yang elite, hingga
koneksi ke orang-orang yang penting. Hal tersebut membuat orang kaya memiliki
“sense of entitlement” atau cenderung merasa lebih berhak mendapat perlakuan
spesial dibandingkan pada orang biasa.
Banyak dari mereka yang menunjukkan sifat narsistik merasa lebih berkuasa, atau rentan menyalahgunakan kekuasaan. Dampak sifat narsistik tersebut antara lain mudah bertindak seenaknya seakan-akan kebal dari berbagai macam konsekuensi. Apalagi dengan adanya penerapan restorative justice yang dilakukan oleh lembaga pelaksana hukum di Indonesia yaitu Kejaksaan Agung. Menurut Michael W. Kraus dan teman-teman, sumber daya dapat menentukan perilaku seseorang. Orang-orang kelas atas cenderung melihat ke dalam dirinya sendiri sehingga mereka cenderung memandang dunia menggunakan kacamata sendiri. Sikap yang dimiliki orang biasa dengan orang kelas atas sangat berbeda. Orang kelas atas tidak terbiasa untuk adaptif di lingkungannya sehingga mereka selalu nyaman dengan lingkungan mereka sendiri. Ketika mereka tidak berada di lingkungan nyamannya, mereka akan memaksa untuk nyaman dengan cara menggunakan kekayaannya ataupun kekuasaanya.
Pada akhirnya, kekayaan sendiri
dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, dia dapat menjadi pendukung
kehidupan kita. Di sisi yang lain, dia dapat menjadi pisau yang akan siap
menusuk pemiliknya. Selalu ingat apa kata aktor klasik Indonesia, yaitu Kasino
“Ah udah gak usah lu pikirin, memang begitu anak orang kaya, kelakuannya suka
tengil, kayak duit bapaknya halal aja”.
Komentar
Posting Komentar