Melihat sampah plastik di bumi
mungkin sudah sering dan terbiasa sangking banyaknya sampah berserakan. Anda
pun sudah tahu asal muasal sampah-sampah tersebut bermuara. Ya, dari tangan
manusia. Namun, pernahkah Anda melihat sampah di luar angkasa? Apakah benar di
luar angkasa ada sampah berserakan? Ya, di luar angkasa juga ditemukan sampah
dalam jumlah sangat banyak. Mengejutkannya, manusia juga yang menciptakan
sampah di luar angkasa padahal manusia tinggal di bumi, bukan di luar angkasa.
Akhirnya di mana-mana ada sampah, di bumi maupun luar angkasa. Benang merahnya
tetap ada pada manusia. Manusia selalu ingin kebutuhannya terpenuhi melalui
berbagai ide inovatif dan kreatif, tetapi mereka kurang bertanggung jawab
terhadap dampak buruk dari ide-ide mereka. Salah satu contohnya, yaitu sampah
bertebaran di luar angkasa.
Gambar 1. Sampah bertebaran di
antariksa
(Sumber: CNN Indonesia)
Luar angkasa ditetapkan berdasarkan
Prinsip Bersama dan menurut ketentuan Hukum Internasional serta pedoman kepada
Piagam PBB, bahwa setiap negara bebas memanfaatkan eksplorasi, penelitian
ilmiah, penyelidikan di ruang angkasa termasuk benda-benda langit, didasarkan
atas asas kesamaan derajat semua negara tanpa memandang tingkat kemajuan
ekonomi dan ilmu pengetahuan. Hal tersebut memicu setiap negara meluncurkan
satelitnya ke luar angkasa sehingga orbit satelit semakin sempit. Ruang orbit
yang semakin penuh dapat meningkatkan risiko kecelakaan. Kasus kecelakaan
dialami oleh pesawat ulang alik Chalenger 1983. Kaca pelindung pesawat itu
harus diganti karena ditemukannya serpihan cat yang menabraknya. Ukuran
serpihan cat tersebut sangat kecil, hanya sekitar 0,3 mm. Namun, kecepatan serpihan cat itu sangat tinggi,
sekitar 14.000 km/jam. Pada tahun 1996, satelit aktif milik Prancis mengalami
kerusakan setelah dihantam sisa puing roket yang meledak satu dekade
sebelumnya. Kasus lainnya pada tahun 2009, satelit bekas milik Rusia
menghancurkan satelit komersial aktif milik Amerika Serikat sehingga
menghasilkan sekitar 2.000 puing baru. Puing-puing
baru tersebut yang menjadi sampah baru luar angkasa akibat puing dari sampah
lama luar angkasa.
Sampah antariksa adalah ribuan puing
satelit dan pesawat ruang angkasa yang rusak dan memenuhi orbit bumi. Sampah
antariksa sebenarnya memiliki berbagai julukan, seperti space junk, space debris, space waste, dan masih banyak julukan
lainnya. Ukuran sampah antariksa beraneka ragam, mulai dari seukuran mobil
hingga serpihan cat. Jaringan Pengawasan Luar Angkasa Amerika berhasil melacak
23 ribu keping sampah ditemukan di luar angkasa. Namun, para peneliti
memperkirakan terdapat 100 triliun kepingan sampah yang masih belum terlacak.
Sampah-sampah antariksa terus mengalami peningkatan di tengah maraknya pihak
swasta menginvestasikan sahamnya di luar angkasa bagi perusahaan eksplorasi dan
wisata luar angkasa. Permasalahan utama berada pada meningkatnya penerbangan
satelit baru sehingga menghasilkan bangkai roket pendorong. Bukan hanya satelit
yang semakin banyak satelit, tetapi sampah pendorong satelit pun akan semakin
banyak di luar angkasa. Faktor lainnya, yaitu daya gravitasi yang rendah dan
kecepatan sampah luar angkasa yang sangat besar. Faktor tersebut dapat
mengakibatkan hancurnya stasiun luar angkasa internasional yang diakibatkan
oleh sampah yang kecil maupun besar yang dapat menghantam pesawat sehingga
dapat menimbulkan puing-puing sampah baru dari hantaman tersebut.
Tidak semua sampah antariksa dibuang bebas di luar angkasa. Point Nemo menjadi lokasi pembuangan khusus di bumi yang jaraknya jauh dari manusia. Point Nemo berupa lautan luas yang menampung berbagai sampah antariksa yang terletak 2.250 km dekat Samudra Pasifik. Setiap satelit yang sudah tidak terpakai akan dihancurkan di atas Point Nemo dan diharapkan dapat jatuh dan terkubur di sana. Namun, tidak semua alat yang dihancurkan itu jatuh ke bumi, terlebih ketika ukurannya kecil dan tidak tertarik oleh gravitasi. Pada tahun 2007, Cina menghancurkan satelit cuaca bekas dengan menembaknya menggunakan misil. Hasil tembakan tersebut malah menambah 3.000 lebih serpihan sampah baru. Hanya saja sampah antariksa umumnya jatuh secara alami dan terbakar di atmosfer dalam kurun sepuluh tahun sehingga membutuhkan waktu yang lama. Peningkatan aktivitas matahari membuat atmosfer memadat dan membuat sampah antariksa semakin lama turun ke bumi.
Sampah antariksa juga dapat menjadi ancaman bagi kehidupan di bumi selain di ekosistem luar angkasa. Pada 1997, Lottie Williams dari Oklahoma, Amerika Serikat, selamat setelah terkena serpihan berukuran 13 cm milik sisa roket Delta Ⅱ. Indonesia juga pernah menjadi lokasi jatuhnya sampah luar angkasa. Gorontalo pada 26 Maret 1981 menjadi lokasi jatuhnya bagian Motor Roket Cosmos-3M/Space Launcher 8 (SL-8)/11K65M milik Rusia. Lampung pada 16 April 1988 menjadi lokasi jatuhnya roket Soyuz A-2 Space Launcher 4 milik Commonwealth of Independent States (CIS) atau Persemakmuran Negara-negara Merdeka (PNM) Rusia. Pada 17 Oktober 2003, Bengkulu menjadi lokasi jatuhnya pecahan roket CZ-3A (Chang Cheng/Long March 3), nomor katalog 23416, kode internasional 1994-080B milik Republik Rakyat Cina (RRC). Provinsi Jawa Timur juga pernah menjadi lokasi, yaitu di Madura pada 26 September 2016, roket FALCON 9 R/B, yaitu roket untuk meluncurkan satelit komunikasi JCSAT 16 milik Jepang kepunyaan Space-X, Amerika Serikat, dan diluncurkan dari Cape Canaveral Air Force Station, Florida. Selama ini sampah ruang angkasa yang jatuh ke bumi tidak memakan korban jiwa serta menyebabkan kerugian materi. Namun, mungkin saja pada suatu saat nanti peristiwa jatuhnya sampah ruang angkasa akan memiliki dampak yang merugikan mengingat sampah ruang angkasa masih banyak di luar angkasa.
Berbagai cara masih dicoba dalam menangani permasalahan sampah antariksa. Alat penyedot tidak akan bekerja efektif di luar angkasa. Alat pembersih berperekat juga akan sia-sia karena bahan kimia tidak tahan pada perubahan temperatur yang drastis. Penarik magnet hanya berfungsi pada objek berbahan metal. Penarik sampah dengan senjata penombak dapat memicu pergerakan puing sampah tidak terkendali. Para peneliti Stanford University dan Jet Propulsion Laboratory mengembangkan robot penarik untuk meraih dan menyingkirkan sampah. Robot ini mengikuti prinsip pada jari-jari lengket cicak. Rambut halus sebesar 40 mikrometer pada grid di lengan robot akan menarik sampah-sampah yang melayang. Ery Fitrianingsih, peneliti di Pusat Teknologi Satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, mengatakan tidak efisien dan mustahil membersihkan semua sampah di luar angkasa. Sampah berukuran besar yang dapat dideteksi sensor, kemungkinan besar dapat dibersihkan dengan teknologi ADR. Namun, memang mencegah lebih baik daripada mengobati, hal paling terpenting menurut Ery adalah mendesain satelit LEO sedemikian rupa sehingga setelah mas beroperasi habis dapat diturunkan orbitnya hingga terbakar di atmosfer.
Tanggung jawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Negara memiliki peran penting dalam menyelesaikan permasalahan global sampah antariksa. Negara berkewajiban mengembalikan dan memperbaiki ekosistem luar angkasa. Kerjasama dalam menyelesaikan permasalahan sampah di luar angkasa diarahkan untuk membentuk norma-norma internasional yang ditetapkan dan disetujui bersama dalam isu sampah luar angkasa. Kualitas lingkungan baik di bumi maupun antariksa harus dijaga. Bumi dan antariksa memiliki permasalahan yang sama, yaitu sampah. Sampah-sampah tersebut berawal dari ide hebat manusia yang menggiring manusia ke kehidupan serba cepat, tepat, dan akurat. Namun, tidak disadari ide tersebut menjadi serangan balik untuk manusia terhadap dampak-dampak merugikan akibat tidak mempertimbangkan dampak buruk bagi lingkungan. Apakah Anda mempunyai ide untuk mengatasi permasalahan sampah antariksa?
Komentar
Posting Komentar