Mahmud (47) warga jember jalan Kalimantan 10 yang berprofesi sebagai penarik jasa becak. Sudah 15 tahun pekerjaan itu di tekuninya. Meski hanya demi selembar uang kertas ribuan ia rela disengat terik matahari dan kadang diguyur hujan deras di malam hari. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa menjanjikan uang, sehingga beliau memilih menjadi tukang becak untuk menghidupi anak dan keluarganya. “Mana ada yang mau menerima pekerja yang hanya bermodal ijasah SD sekarang dek”, kata Mahmud sinis.
Nuraini (43) adalah istri Mahmud, pekerjaannya sehari-harinya adalah penjual nasi di warung yang sekaligus juga sebagai rumah tempat mereka tinggal. Kehidupan mereka sangat sederhana, meski kadang kala keadaan ekonomi mereka cukup kritis, sepasang suami istri itu tidak pernah mengeluh dan putus asa. Mereka giat bekerja untuk menghidupi keluarga khususnya anak-anak mereka. Pendidikan merupakan hal yang sangat diprioritaskan oleh Mahmud pada anak-anaknya. Mereka dikaruniai dua orang anak: Andi Prasetyo (20 tahun), sekarang kuliah di ITB dan Anisatul Khoiriyah (9 tahun).
Pak Mahmud sangat bersyukur karena anak pertamanya mendapat beasiswa prestasi di ITB sehingga dia tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliah yang saat ini sangat mahal. “Untuk biaya makan sehari-hari Andi mendapat uang dari hasil kerjanya sendiri, saya sangat sangat senang punya anak seperti dia,” kata Mahmud tersenyum. “Anak kedua saya masih duduk di bangku SD kelas 5. semoga dia beruntung seperti kakaknya” tutur beliau dengan penuh pengharapan.
Sebenarnya beliau menaruh harapan besar kepada anak-anaknya agar kelak mereka bisa menjadi orang yang sukses dan bisa membahagiakan keluarga. Mahmud juga sempat bercerita tentang masa mudanya dulu. Dulunya beliau berasal dari keluarga yang berkecukupan. Orang tuanya bekerja sebagai petani. Sawah dan ladangnya cukup luas, namun kekayaan itu disalahgunakan oleh Mahmud sehingga habis sia-sia saja.
Pada masa muda beliau, mabuk-mabukan, foya-foya, dan main judi sudah menjadi kebiasaannya setiap malam. Bahkan harta milik ayahnya habis di meja judi. Padahal ayahnya sudah sangat sering mengingatkan, tapi beliau tak pernah menggubrisnya. Pendidikan Mahmud hanya sekedar lulusan SD. Dia tidak mau disekolahkan hingga ketingkat SMP. “Sekarang saya sangat menyesal tidak mau disekolahkan oleh orang tua dan karena sudah menghabiskan masa muda hanya untuk bersenang-senang”, imbuhnya dengan wajah lesu.
Suatu ketika Mahmud sempat dikirim ke pondok pesantren agar dibina ahlakul karimahnya. Di pondok pesantren pun tidak berlangsung lama. Pasalnya dia sering mengajak teman santri lain untuk minum-minuman keras diluar pondok. Namun aksinya itu sering kepergok petugas keamanan pondok pesantren sehingga dia sering mendapat teguran dan hukuman keras. Tidak sampai satu tahun di pondok pesantren, Mahmud dipulangkan dan diusir karena pondok pesantren tersebut sudah merasa kewalahan membina beliau.
Mahmud baru menyesali dan berhenti dari sifat buruknya setelah dia punya anak pertama bernama Andi Prasetyo. “Pada waktu itu saya tidak punya uang sama sekali untuk membiayai anak saya yang sakit, kemudian istri saya menangis di depan saya dan meminta saya agar segera bertaubat. Pada saat itu pula saya sangat menyesal dan berjanji tidak akan mabuk dan main judi lagi. Mungkin ini semua sudah takdir.” Begitu Mahmud menceritakan masa lalunya.
Ini hanyalah sebuah kisah nyata yang terjadi di sekeliling kita. Semoga kita bisa menarik hikmah dari semua itu.[Abd. Nasir]
Nuraini (43) adalah istri Mahmud, pekerjaannya sehari-harinya adalah penjual nasi di warung yang sekaligus juga sebagai rumah tempat mereka tinggal. Kehidupan mereka sangat sederhana, meski kadang kala keadaan ekonomi mereka cukup kritis, sepasang suami istri itu tidak pernah mengeluh dan putus asa. Mereka giat bekerja untuk menghidupi keluarga khususnya anak-anak mereka. Pendidikan merupakan hal yang sangat diprioritaskan oleh Mahmud pada anak-anaknya. Mereka dikaruniai dua orang anak: Andi Prasetyo (20 tahun), sekarang kuliah di ITB dan Anisatul Khoiriyah (9 tahun).
Pak Mahmud sangat bersyukur karena anak pertamanya mendapat beasiswa prestasi di ITB sehingga dia tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliah yang saat ini sangat mahal. “Untuk biaya makan sehari-hari Andi mendapat uang dari hasil kerjanya sendiri, saya sangat sangat senang punya anak seperti dia,” kata Mahmud tersenyum. “Anak kedua saya masih duduk di bangku SD kelas 5. semoga dia beruntung seperti kakaknya” tutur beliau dengan penuh pengharapan.
Sebenarnya beliau menaruh harapan besar kepada anak-anaknya agar kelak mereka bisa menjadi orang yang sukses dan bisa membahagiakan keluarga. Mahmud juga sempat bercerita tentang masa mudanya dulu. Dulunya beliau berasal dari keluarga yang berkecukupan. Orang tuanya bekerja sebagai petani. Sawah dan ladangnya cukup luas, namun kekayaan itu disalahgunakan oleh Mahmud sehingga habis sia-sia saja.
Pada masa muda beliau, mabuk-mabukan, foya-foya, dan main judi sudah menjadi kebiasaannya setiap malam. Bahkan harta milik ayahnya habis di meja judi. Padahal ayahnya sudah sangat sering mengingatkan, tapi beliau tak pernah menggubrisnya. Pendidikan Mahmud hanya sekedar lulusan SD. Dia tidak mau disekolahkan hingga ketingkat SMP. “Sekarang saya sangat menyesal tidak mau disekolahkan oleh orang tua dan karena sudah menghabiskan masa muda hanya untuk bersenang-senang”, imbuhnya dengan wajah lesu.
Suatu ketika Mahmud sempat dikirim ke pondok pesantren agar dibina ahlakul karimahnya. Di pondok pesantren pun tidak berlangsung lama. Pasalnya dia sering mengajak teman santri lain untuk minum-minuman keras diluar pondok. Namun aksinya itu sering kepergok petugas keamanan pondok pesantren sehingga dia sering mendapat teguran dan hukuman keras. Tidak sampai satu tahun di pondok pesantren, Mahmud dipulangkan dan diusir karena pondok pesantren tersebut sudah merasa kewalahan membina beliau.
Mahmud baru menyesali dan berhenti dari sifat buruknya setelah dia punya anak pertama bernama Andi Prasetyo. “Pada waktu itu saya tidak punya uang sama sekali untuk membiayai anak saya yang sakit, kemudian istri saya menangis di depan saya dan meminta saya agar segera bertaubat. Pada saat itu pula saya sangat menyesal dan berjanji tidak akan mabuk dan main judi lagi. Mungkin ini semua sudah takdir.” Begitu Mahmud menceritakan masa lalunya.
Ini hanyalah sebuah kisah nyata yang terjadi di sekeliling kita. Semoga kita bisa menarik hikmah dari semua itu.[Abd. Nasir]
Komentar
Posting Komentar