Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2010

Mari Mulai Mengenal Kelas Internasional

Dalam rangka menghadapi globalisasi, universitas jember telah membuat kebijaksanaan baru. Kebijaksanaan untuk mempersiapkan kita sebagai mahasiswa agar dapat bersaing secara intenasional. Kebijaksanaan tersebut adalah dengan adanya Kelas Internasional. Kelas dimana dalam metode pembelajarannya full menggunakan Bahasa Internasional. Seiring dengan perkembangannya, Universitas Jember sering mengadakan berbagai bentuk kerja sama, salah satunya adalah kerja sama dengan San Carlos Univercity di Filipina. Bentuk kerja samanya adalah dengan tukar menukar dosen dan juga mahasiswa. Kerja sama inilah yang menjadi latar belakang didirikannya Kelas Internasional. Selain alasan kerja sama tersebut, didirikannya Kelas Internasional juga untuk mempersiapkan mahasiswanya agar dapat bersaing secara internasional. Karena dewasa ini, negara seakan-akan sudah tidak berbatas. Misal saja,banyak orang pribumi ke Luar Negeri untuk bekerja, begitu pula dengan orang asing. Banyak yang masuk ke Indonesia tidak

BABAK BARU PENDIDIKAN PASCA UU BHP

Tanggal 31 Maret 2010, merupakan momen dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kabar gembira bagi seluruh organ-organ mahasiswa yang selama ini getol melakukan perlawanan terhadap UU tersebut. Lantas apakah perjuangan mereka sudah usai, sudah barang tentu jawabnya: Tidak! Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) adalah salah satu organ mahasiswa yang mengawal isu-isu yang terkait pendidikan khususnya BHP ini. Tanggal 29 April 2010 kemarin, bertempat di Gedung POMA Fakultas Hukum Universitas Jember, PPMI mengadakan Diskusi Publik dengan tema “Perguruan Tinggi Pasca BHP” dengan pembicara Akhmad Taufiq (Dosen FKIP Unej), Mas Guntur (Resist Book) dan Fina Aunul Kahfi (Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya) dan Arys Aditia (Mahasiswa Fisip Unej) sebagai moderator diskusi. Diskusi yang berlangsung dalam dua sesi ini berlangsung seru, komunikasi berjalan sempurna, peserta diskusi sampai pembicara terjadi interaksi hebat saling beradu dan bertukar argumentasi. Acara ini dihadiri ol

Berbicara Mahasiwa dalam Tanda Tanya

Saya rasa kita ini adalah mahasiswa, entah apa yang berbeda, namun yang jelas tiap orang pasti berbeda-beda. Bila hari ini saya berfikir bahwa saya harus bangun dan mulai berbenah, mungkin. Tentunya hal ini akan berbeda dengan tiap-tiap manusia lainnya meski kita sama-sama mahasiswa. Ada yang berfikir dan membuka mata hanya untuk makan, ada yang berfikir untuk menghadapi kekangan belenggu akademis, dan mungkin ada pula yang langsung berfikir untuk mengawali hari dengan hal yang bejat, tak menuutp kemungkinan dan semua itu sah-sah saja. Tetapi melihat realitas yang sebenarnya, saya merasa kita seakan hanya terjebak dalam pola kemandekan kerangka positivis yang tak bisa dibantah kebenarannya dengan nalar logis. Bukankah kampus merupakan sumber mata air dan oase di lahan yang tandus guna memuaskan dahaga dalam “lingkaran kebodohan”. Seakan harus memutar ulang semua memori di otak, bukankah ilmu tak hanya harus didapat dari akademis? Namun mengapa hal ini berkebalikan dengan realita yang

Cermin Emansipasi dalam Sebuah Papan Tulis

Emansipasi tak lagi menjadi hal baru di era modern ini, berbagai lapisan masyarakat paham akan keadaan yang menginginkan persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang. Mulai dari pendidikan, pemerintahan dan hukum. Diawali dari perjuangan Raden Ajeng Kartini untuk memajukan perempuan pribumi sehingga memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum dengan laki-laki, para wanita di zaman ini seakan ingin terus melanjutkan perjuangannya dengan terus menggembar-gemborkan emansipasi. Padahal semua itupun telah banyak teraplikasi dalam berbagai bidang, kini perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya, perempuan juga memperoleh perlindungan hukum yang sama dan perempuan juga punya kedudukan dalam pemerintahan yang sederajat dengan laki-laki, tak ada lagi initmidasi perempuan yang sah di mata hukum. Kesamaan derajat, itulah yang selalu di junjung tinggi. Tak hanya dalam lapangan kerja dan berbagai aspek kehidupan sosial,

Rumah Perempuan in Jember

Rumah perempuan adalah suatu organisasi perempuan yang memfokuskan diri pada pemberdayaan komunitas terutama perempuan pedesaan. Awal mula berdirinya organisasi ini berdasarkan atas inisiatif perempuan-perempuan dengan latar belakang dan aktivitas serta profesi berbeda, mulai dari ibu rumah tangga, pekerja, dan pendidik yang memiliki satu kesamaan yaitu peduli pada permasalahan perempuan yang selama ini juga menjadi permasalahan yang pernah mereka hadapi. Berdiri di Jember tahun 2002 dengan nama “Forum Refleksi Emansipasi” dan mengubah bentuk menjadi “ Perkumpulan Rumah Perempuan” dengan akta notaris no. 08 Notaris Devi Kurniasari, S.H, M.Kn tanggal 18 maret 2010. Sejak awal rumah perempuan menyadari bahwa adanya bentuk-bentuk ketidakadilan gender menyebabkan diskriminisasi, marginalisasi, subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dengan berbasis kesadaran itulah, aktivitas rumah perempuan ditujukan untuk mengembangkan kesadaran, wawasan dan pengetahuan serta ketrampilan bagi mas

Usia Bukan Alasan Bagi Nenek Penjual Mie

Jika berjalan-jalan dijalan Jawa 7 pada malam hari, di sebelah timur tembok kampus didekat fakultas MIPA, kita mungkin akan menemui sebuah warung yang menjual gado-gado dan mie ayam disitu. Lokasinya tepat berada di depan sebuah rumah kos yang bangunannya mirip sebuah sekolah dasar. Pada malam hari cukup sedikit mahasiswa yang makan di sana, meski bisa dibilang, tempat tersebut adalah satu-satunya warung yang menjual gado-gado di lokasi itu. Walaupun begitu keberadaan warung seperti itu cukup membantu mengingat lokasi di sana agak jauh dari keramaian. Warung itu dijaga oleh seorang ibu atau nenek melihat wajahnya yang sepertinya sudah cukup tua, namun rambutnya masih hitam. Bu Bud, begitu panggilan orang-orang sekitar terhadapnya. Namanya sendiri adalah Tarmi. Bud sendiri sebenarnya adalah nama panggilan almarhum anaknya dulu, Budi. Bu Bud ini biasanya berjualan mie dari sore hingga larut malam. Ibu ini punya manajemen cukup unik tentang kapan dia menutup warungnya. “Nek bumbune mi

Jaminan Kesejahteraan untuk Perempuan

Perempuan yang sering dianggap sebagai manusia lemah disepelekan oleh kaum laki-laki, membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang harus bekerja keras untuk terus bertahan hidup, bahkan rela untuk ditindas karena tidak memiliki keterampilan khusus. Melihat kondisi seperti itu, muncul sosok R.A. Kartini yang menjadi jembatan hingga akhirnya perempuan menjadi kaum yang memiliki kekuatan yang sama dengan kaum laki-laki. Untuk lebih mensejahterakan kaum perempuan, pemerintah berusaha untuk membentuk instansi yang bergerak untuk kesejahteraan perempuan. BPPKB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana) merupakan instansi yang bertujuan untuk mensejahterakan kaum perempuan. BPPKB Kabupaten Jember yang tertelak di Jalan PB. Sudirman 11 Lt. 3 Jember, dengan semangat tinggi juga turut serta dalam kegiatan mensejahterakan perempuan yang berada di kawasan Kabupaten Jember. Masyarakat sangat merespon positif dengan adanya BPPKB, karena deng

Wanita Tak Harus Manja dan Lemah lalu Tertidur

Seringkali wanita merasa terkesampingkan dan terabaikan hak-haknya karena beranggapan bahwa kedudukannya jauh lebih rendah dari kaum pria. Secara normatif, mereka selalu merasa memilki status atau kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang lebih rendah dari kaum lelaki. Mereka sering terkekang dengan adanya pembangunan yang berkonsep gender yang tak lepas pula dari bahasan seks dan kodrat. Dimana menjadi suatu keadaan yang menjadikan dan membuat wanita seakan selalu duduk di pihak yang lemah karena adanya kesalahpahaman dalam pengimplementasiannya. Duduk permasalahan yang dirasa kurang condong ke arah kaum wanita membuat pemerintah turun tangan dan mengupayakan peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan atau berperspektif gender. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita di dalam pembangunan. Usaha untuk mencapai kesetaraan di berbagai lapisan tersebut diamanatkan dalam sebuah strategi ya

Saya Ini Mengikuti Emansipasi Wanita

Tersebutlah pada jaman dahulu menang, dua orang mahasiswi in telek mencoba membuka mata di sebuah pagi yang begitu indah dengan sinar mentari dan kesejukan angin dingin penghujung tidur. Terdengar tak tik tuk jam dan terlihat arah jarum jam penunjuk waktu disana. “ Busyet dah, setengah delapan Sar , kuliah, bangun.” seorang mahasiswi UJEM bernama Sumarseni Sumarsono dengan panggilan akrab Eni, tiba-tiba terbangun dari tidurnya. “ Hah, setengah delapan, telat kita ne, gmn nih ? ” ” Ayo mandi bareng dah, cepetan. ” kata si Eni. ”Waduh gimana ya? Tapi ayo dah!”, jawab, Sarijem binti Paino dengan panggilan akrab Sari. Langsung saja mereka berdua masuk berbarengan ke kamar mandi, ( suar, suar, gdebrak, gedebruk, aw, aw, aduh ) tanpa tahu apa yang mereka lakukan di dalam kamar mandi, lima belas menit berlalu akhirnya mereka selesai dan memoles diri, mulai dari polesan bedak, lotion, parfum, pelembab, bulu alis, bulu ketek dan bulu-bulu lainnya. Dihidupkan motor oleh Eni dan dia berkata

Dilematika Emansipasi dalam Penyelenggaraannya

Berbicara mengenai wanita tentunya pikiran kita secara spontan akan menjurus pada masalah gender. Wanita kerap kali merasa bahwa dirimya selalu menjadi makhluk nomor dua di dunia ini. Entah sejak kapan wacana ini berkembang dalam masyararakat, namun konsep gender yang telah lama tertanam dalam otak pastinya sedikit banyak memberikan sugesti yang mungkin acap kali menyudutkan kaum hawa. Sebenarnya para pendiri negeri ini sungguh sangat arif dalam menyusun UUD 1945, menghargai peranan wanita pada masa silam dan mengantisipasi pada masa yang akan datang, dengan tidak ada satu kata pun yang bersifat diskriminatif terhadap wanita. Konstitusi ini dengan tegas menyatakan persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara (baik pria maupun wanita). Di dalam GBHN 1993 di antaranya juga diamanatkan, bahwa wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pria dalam pembangunan. Selain itu, pengambil keputusan juga telah meratifikasi (mengesahkan) konvensi penghapusan segala bentuk diskrimin