Tanggal 31 Maret 2010, merupakan momen dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kabar gembira bagi seluruh organ-organ mahasiswa yang selama ini getol melakukan perlawanan terhadap UU tersebut. Lantas apakah perjuangan mereka sudah usai, sudah barang tentu jawabnya: Tidak!
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) adalah salah satu organ mahasiswa yang mengawal isu-isu yang terkait pendidikan khususnya BHP ini. Tanggal 29 April 2010 kemarin, bertempat di Gedung POMA Fakultas Hukum Universitas Jember, PPMI mengadakan Diskusi Publik dengan tema “Perguruan Tinggi Pasca BHP” dengan pembicara Akhmad Taufiq (Dosen FKIP Unej), Mas Guntur (Resist Book) dan Fina Aunul Kahfi (Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya) dan Arys Aditia (Mahasiswa Fisip Unej) sebagai moderator diskusi. Diskusi yang berlangsung dalam dua sesi ini berlangsung seru, komunikasi berjalan sempurna, peserta diskusi sampai pembicara terjadi interaksi hebat saling beradu dan bertukar argumentasi. Acara ini dihadiri oleh perwakilan mahasiswa dari seluruh Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia, seperti Makassar, Tulungagung, Mataram, Solo, Kudus, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banten, Madura, Manado, Banjarmasin, Malang, dan Jember.
Pendidikan adalah hak dasar bagi setiap manusia yang ada dalam suatu negara, merupakan sendi terpenting dalam membentuk mental, karakter, jiwa kebangsaan, kenegaraan dan kemanusiaan, pun juga dikuatkan dalam UUD 1945; “Bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan”. Sangat aneh ketika salah satu dari teman, tetangga bahkan orang yang tidak kita kenal, tidak mendapatkan pendidikan, karena akses yang sulit, biaya yang mahal dll. Setidaknya contoh kecil inilah yang membuat kami resah akan pendidikan –yang tidak berpihak pada masyarakat bawah– di Indonesia.
UU BHP secara luas sebenarnya menghendaki adanya otonomi, akuntabilitas, transparasi dan efisiensi, namun juga secara khusus membuka lebar-lebar ruang untuk adanya campur tangan pihak luar/asing –dalam bentuk investasi– dalam pendidikan, terciptanya otonomi kampus menyebabkan biaya untuk masuk kuliah menjadi tinggi. Dengan logika sederhana orang miskin tidak akan mampu masuk dan memperoleh pendidikan tinggi. Wajar ketika mahasiswa yang tahu dan aktif dalam kegiatan organisasi resah dan mengibarkan bendera perlawanan terhadap Kapitalisme Pendidikan di Indonesia, beda dengan mahasiswa yang hanya sekedar kuliah tanpa mau tahu akan dunia luar, sungguh tolol dan naif, niscaya mereka akan masuk neraka.
Pendidikan di negeri ini, seperti yang dikemukakan oleh Chatib (2009; xxi) banyak dimanifestasikan dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang membentuk manusia robot. Oleh karena itu sekolah-sekolah, kampus, madrasah, dll sebagai lembaga pendidikan hanya memproduksi peserta didik untuk siap menjadi robot yang bernilai tinggi dan berdaya guna dan sebagai alat pemuas industrial.
Masalah dana selalu menjadi masalah krusial bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di negeri ini, sulitnya mendapat kucuran dana dari pemerintah –Negara– seperti birokrasi yang rumit membuat lembaga-lembaga pendidikan tersebut mencari dananya sendiri lewat usaha-usaha yang profit oriented, membebankan pada peserta didik dan masyarakat yang imbas dari itu semua adalah untuk memperoleh pendidikan itu tidak gratis! Kenyataan ini diperkuat dan dilegitimasikan dengan produk hukum macam BHP.
Setelah UU BHP ini dicabut, Mendiknas M.Nuh dan tim mengeluarkan PP pengganti BHP dengan berkomitmen pada empat pilar yaitu otonomi, akuntabilitas, transparansi dan efisiensi yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan saat ini dan sebagai payung hukum bagi perguruan tinggi yang sudah melaksanakan BHP. Dengan adanya PP baru ini, tentunya kita tidak akan begitu saja percaya dan menerima. Segala sesuatu harus kita ragukan apalagi menyangkut hak dasar setiap warga negara yaitu pendidikan. Semua elemen-elemen dalam negara harus ikut aktif mengkaji manfaat dan mudharat PP tersebut dan bila perlu diujikan terlebih dahulu pada lembaga-lembaga pendidikan. Cita-cita pendidikan kita yang adil, merata pada seluruh warga negara Indonesia telah lama digagas para Founding Fathers, Ki Hajar Dewantoro, RA Kartini dll akan dapat terwujud bukan hanya tertulis dalam buku-buku sejarah apalagi sampai dilupakan dan hilang dari peradaban.
Sedikit catatan penting dari hasil diskusi kemarin, setidaknya semua –peserta diskusi dan pembicara– sama-sama sepakat bahwa pendidikan haruslah kembali pada paradigma kemanusiaan, tak ada pembeda bagi yang miskin, kaya, pintar dan juga bodoh. Negara –wajib hukumnya– membiayai seluruh warga negara Indonesia untuk merasakan dan mendapatkan pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kiranya ini semua tak akan tercapai apabila mahasiswa –yang digembar-gemborkan sebagai Agent of Change– masih acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya, kita harus sama-sama berjuang dan mengawal pendidikan ke arah yang lebih baik lagi dan cita-cita humanisme dapat tercapai. Amien.[Rizki Akbari S]
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) adalah salah satu organ mahasiswa yang mengawal isu-isu yang terkait pendidikan khususnya BHP ini. Tanggal 29 April 2010 kemarin, bertempat di Gedung POMA Fakultas Hukum Universitas Jember, PPMI mengadakan Diskusi Publik dengan tema “Perguruan Tinggi Pasca BHP” dengan pembicara Akhmad Taufiq (Dosen FKIP Unej), Mas Guntur (Resist Book) dan Fina Aunul Kahfi (Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya) dan Arys Aditia (Mahasiswa Fisip Unej) sebagai moderator diskusi. Diskusi yang berlangsung dalam dua sesi ini berlangsung seru, komunikasi berjalan sempurna, peserta diskusi sampai pembicara terjadi interaksi hebat saling beradu dan bertukar argumentasi. Acara ini dihadiri oleh perwakilan mahasiswa dari seluruh Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia, seperti Makassar, Tulungagung, Mataram, Solo, Kudus, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banten, Madura, Manado, Banjarmasin, Malang, dan Jember.
Pendidikan adalah hak dasar bagi setiap manusia yang ada dalam suatu negara, merupakan sendi terpenting dalam membentuk mental, karakter, jiwa kebangsaan, kenegaraan dan kemanusiaan, pun juga dikuatkan dalam UUD 1945; “Bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan”. Sangat aneh ketika salah satu dari teman, tetangga bahkan orang yang tidak kita kenal, tidak mendapatkan pendidikan, karena akses yang sulit, biaya yang mahal dll. Setidaknya contoh kecil inilah yang membuat kami resah akan pendidikan –yang tidak berpihak pada masyarakat bawah– di Indonesia.
UU BHP secara luas sebenarnya menghendaki adanya otonomi, akuntabilitas, transparasi dan efisiensi, namun juga secara khusus membuka lebar-lebar ruang untuk adanya campur tangan pihak luar/asing –dalam bentuk investasi– dalam pendidikan, terciptanya otonomi kampus menyebabkan biaya untuk masuk kuliah menjadi tinggi. Dengan logika sederhana orang miskin tidak akan mampu masuk dan memperoleh pendidikan tinggi. Wajar ketika mahasiswa yang tahu dan aktif dalam kegiatan organisasi resah dan mengibarkan bendera perlawanan terhadap Kapitalisme Pendidikan di Indonesia, beda dengan mahasiswa yang hanya sekedar kuliah tanpa mau tahu akan dunia luar, sungguh tolol dan naif, niscaya mereka akan masuk neraka.
Pendidikan di negeri ini, seperti yang dikemukakan oleh Chatib (2009; xxi) banyak dimanifestasikan dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang membentuk manusia robot. Oleh karena itu sekolah-sekolah, kampus, madrasah, dll sebagai lembaga pendidikan hanya memproduksi peserta didik untuk siap menjadi robot yang bernilai tinggi dan berdaya guna dan sebagai alat pemuas industrial.
Masalah dana selalu menjadi masalah krusial bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di negeri ini, sulitnya mendapat kucuran dana dari pemerintah –Negara– seperti birokrasi yang rumit membuat lembaga-lembaga pendidikan tersebut mencari dananya sendiri lewat usaha-usaha yang profit oriented, membebankan pada peserta didik dan masyarakat yang imbas dari itu semua adalah untuk memperoleh pendidikan itu tidak gratis! Kenyataan ini diperkuat dan dilegitimasikan dengan produk hukum macam BHP.
Setelah UU BHP ini dicabut, Mendiknas M.Nuh dan tim mengeluarkan PP pengganti BHP dengan berkomitmen pada empat pilar yaitu otonomi, akuntabilitas, transparansi dan efisiensi yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan saat ini dan sebagai payung hukum bagi perguruan tinggi yang sudah melaksanakan BHP. Dengan adanya PP baru ini, tentunya kita tidak akan begitu saja percaya dan menerima. Segala sesuatu harus kita ragukan apalagi menyangkut hak dasar setiap warga negara yaitu pendidikan. Semua elemen-elemen dalam negara harus ikut aktif mengkaji manfaat dan mudharat PP tersebut dan bila perlu diujikan terlebih dahulu pada lembaga-lembaga pendidikan. Cita-cita pendidikan kita yang adil, merata pada seluruh warga negara Indonesia telah lama digagas para Founding Fathers, Ki Hajar Dewantoro, RA Kartini dll akan dapat terwujud bukan hanya tertulis dalam buku-buku sejarah apalagi sampai dilupakan dan hilang dari peradaban.
Sedikit catatan penting dari hasil diskusi kemarin, setidaknya semua –peserta diskusi dan pembicara– sama-sama sepakat bahwa pendidikan haruslah kembali pada paradigma kemanusiaan, tak ada pembeda bagi yang miskin, kaya, pintar dan juga bodoh. Negara –wajib hukumnya– membiayai seluruh warga negara Indonesia untuk merasakan dan mendapatkan pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kiranya ini semua tak akan tercapai apabila mahasiswa –yang digembar-gemborkan sebagai Agent of Change– masih acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya, kita harus sama-sama berjuang dan mengawal pendidikan ke arah yang lebih baik lagi dan cita-cita humanisme dapat tercapai. Amien.[Rizki Akbari S]
Komentar
Posting Komentar