Jember,
terkenal dengan sebutan kota 1000 gumuk. Posisinya yang secara georafis diapit
oleh 3 kabupaten yaitu Banyuwangi, Bondowoso, dan Lumajang membuat Kota Jember
seperti cekungan. Letak geografis inilah yang mempengaruhi banyaknya gumuk di
kota Jember. Dulu terdapat gumuk yang dianggap mistis oleh masyarakat sekitar.
Sebenarnya, itu merupakan salah satu upaya pelesteraian gumuk. Namun, zaman
sekarang orang-orang sudah tidak lagi percaya dengan hal-hal yang berbau mitos. Gumuk yang menjadi icon kota Jember ini
semakin lama makin berkurang. Banyak diantaranya yang beralih rupa menjadi kompleks
perumahan. Padahal gumuk mempunyai peran penting terhadap keseimbangan
lingkungan. Gumuk bisa dijadikan sebagai lahan tadah hujan. Diharapkan air
hujan yang jatuh tidak langsung ke sungai,
tetapi dapat diserap oleh tanah sehingga bisa dijadikan air tanah. Tidak hanya itu saja, gumuk
memiliki manfaat yang sangat berarti terhadap lingkungan dan juga kita
(manusia). Hal ini dibenarkan oleh Bapak Priyo Kushari P, SH. Sebagai Kepala Sie. Pengendalian Pencemaran dan Teknik
Lingkungan,
Kantor Lingkungan
Hidup mengatakan, “Dari
Lingkungan sendiri gumuk itu harus dilestarikan karena mereka (gumuk) sangat
membantu kita. Mengapa sangat membantu?? Di daerah tertentu terdapat gumuk atau
bukit kecil dan itu sangat
bermanfaat sekali. Manfaatnya untuk penahan angin dan resapan air seperti di
Puger terdapat Gumuk Watangan, itu berfungsi sebagai penahan tsunami.
Gumuk-gumuk di kota sudah banyak yang dikeruk untuk dijadikan lahan perumahan.”
Sayangnya,
hal itu kurang diketahui oleh Pemerintah karena gumuk itu milik masyarakat
bukan milik pemerintah. Sehingga sangat suliit untuk mengontrolnya. Dinas
Lingkungan Hidup hanya bisa memberikan sosialisasi tentang pentingnya gumuk.
Pak Priyo juga mengatakan bahwa masyarakat terkadang menjualnya dengan harga
murah sekitar 200-300 juta rupiah kepada suatu
perusahaan.
Perusahaan tersebut membeli dari masyarakat kemudian mengurus masalah perizinan
ke Disperindag. Sangat disesali lagi oleh Pak Priyo yaitu pihak Disperindag
tanpa berkoordinasi dengan pihak
Kantor
Lingkungan Hidup langsung memberikan izin, yang penting pendapatan masyarakat
meningkat. Padahal dampaknya berpengaruh terhadap kita semua.
Potensi
gumuk sebagai penyerapan air mempunyai peran penting dalam mengatur kualitas
air bersih di Kabupaten Jember. Jika diteruskan, pada tahun 2020 diprediksi
Kabupaten Jember akan kekurangan air bersih. Tidak hanya itu saja, gumuk juga
berpotensi sebagai penahan angin dan sumber tambang. Gumuk Kerang yang berada
di Kecamatan Mayang memiliki sumber tambang berupa batu piring. Hal itu
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar yang kemudian dijual kepada ‘orang-orang
berduit’. Padahal batu piring itu nanti banyak yang diekspor ke Jepang. Masalah
pertambangan sudah diatur dalam Perda nomor 17 tahun 2002 tentang Pengelolaan
Pertambangan dan Energi. Dari sini terlihat bahwa masyarakat saat ini kurang
peduli terhadap fungsi gumuk, melainkan tergiur akan nilai jual yang dapat
dihasilkan oleh batu piring. Jika saat ini saja gumuk sudah banyak yang dikeruk
dan dieksploitasi tanpa adanya timbal balik untuk menyeimbangkan lingkungan,
maka tidak menutup kemungkinan dampak-dampak negatif bisa berakibat fatal
terhadap lingkungan maupun kita.
Berdasarkan
survei tahun 2005
yang dilakukan oleh Bappekab,
jumlah gumuk di Kabupaten Jember tinggal 997. Itupun
terdiri dari gumuk yang berpotensi tinggi penyerapan air, sebagai penahan
angin, dan juga pertambangan seperti batu dan pasir. Menurut data dari
Bappekab, persebaran gumuk paling banyak di Kabupaten Jember terdapat di
Kecamatan Sukowono dan Kalisat.
Sama halnya yang telah
diungkapkan oleh Pak Priyo dari Dinas Lingkungan Hidup, Pak Ismail dari
Kasubid. Pengembangan Sumber Daya Bappekab Jember juga mengatakan hal serupa
bahwa gumuk bukan aset Negara melainkan milik perorangan. Usaha-usaha
konservasi pun masih mengalami kendala. Jika dibandingkan dengan hasil data survei
tahun 1991/1992, jumlah gumuk di Kab. Jember masih 1000 lebih, sekitar 1500.
Setelah 14 tahun, 1991-2005 jumlah gumuk di Kab. Jember mengalami pengurangan
yang cukup banyak bahkan hingga ratusan. Hal itu disebabkan karena 1.gumuk
milik perorangan, 2.masyarakat kurang peduli terhadap keberadaan gumuk, 3.eksploitasi
potensi gumuk. Pemerintah seharusnya membuat semacam aturan untuk mengatur
konservasi keberadaan gumuk. Sangat disayangkan bahwa aturan dan sanksi semacam
itu belum ada. Aturan tentang pengendalian gumuk harus segera dibuat untuk
menyadarkan masyarakat bagaimana fungsi gumuk tersebut.
Dalam
kota sendiri, fungsi gumuk sebagai paru-paru kota karena terdapat flora dan
fauna. Jika memang di eksploitasi potensinya minimal gumuk itu harus tetap
hijau, walaupun batunya diambil. Sehingga tidak ada alih fungsi gumuk karena
tetap ada tanaman. Dengan kata lain, penghilangan gumuk berarti menghilangkan fungsi dari gumuk
itu sendiri, sehingga tidak ada yang menggantikan. Akibatnya, iklim secara
tidak langsung berubah. Dulunya sejuk dan rindang, sekarang panas karena tidak
ada yang menaungi. Karena itu perlu diadakan lagi kajian tentang pengendalian
gumuk, mana yang harus di konservasi dan mana yang boleh dieksploitasi. Salah
satu kajian yang harus dibahas adalah identifikasi kepemilikan gumuk. Kemudian
identifikasi potensi dan identifikasi fungsi. Dengan begitu baru bisa
menentukan gumuk mana yang harus di konservasi.
Setelah tahun 2005, perlu diadakan survey lagi
tentang keberdaan gumuk. Konservasi keberadaan gumuk diperlukan untuk
mengetahui jumlah gumuk yang ada dan masih bisa melakukan fungsinya dengan
baik. Tugas itu bukan merupakan kewajiban pemerintah saja, tetapi semua
kalangan diharapkan dapat membantu untuk pelestarian dan pengendalian gumuk.
Setidaknya, LSM peduli lingkungan bisa melakukan penyuluhan tentang pentingnya
peran dan fungsi gumuk terhadap keseimbangan lingkungan kepada masyarakat. [Tifani Istqomah]
Komentar
Posting Komentar