Oleh :
Dwi Alfi Rahmatin
Nampaknya
matahari enggan bersinar hari ini. Hujan sudah mengguyur sejak 3 jam yang lalu
dan sekarang pukul 8 pagi, berarti sekitar pukul lima pagi tadi Jogja sudah
basah karena hujan. Aku masih dengan piyamaku berjalan malas menuju dapur,
membuka kulkas dan mencari makanan. Disana hanya ada dua helai roti tawar,
separuh botol selai coklat dan seperempat kotak susu. Aku mulai mengoleskan
selai di atas roti dan menuangkan susu dalam gelas. Setidaknya makanan ini
mengganjal perutku yang sudah keroncongan dari tadi. Dari arah dapur aku tatap
keluar jendela, hujannya sudah berganti menjadi gerimis, mungkin sebentar lagi
reda. Kebetulan hari ini hari sabtu, aku tidak mempunyai banyak kegiatan yang
harus aku lakukan. Aku hanya perlu berbelanja untuk mengisi ulang kebutuhan
kulkasku, tapi itu bisa dilakukan nanti ketika hujan sudah reda. Rumahku juga
tidak jauh dari pusat pebelanjaan jadi kegiatan itu bisa dilakukan setiap saat
kapanpun aku mau dan bukan kebutuhan mendesak.
Saat
mencari rumah sekitar 3 tahun lalu aku memang mecari rumah yang letaknya strategis,
yang tidak jauh dari tempat aku bekerja dan tidak jauh juga dari pusat
perbelanjaan. Karena itu penting bagiku. Sejak Desember 2013 aku menyewa rumah ini
dari sepasang suami istri muda. Rumahnya cukup nyaman, dengan desain minimalis
cocok bagi aku yang tinggal sendirian. Ada ruang tamu kecil, dapur, kamar mandi
dan dua kamar tidur yang kini salah satu
kamar tidur itu aku jadikan sebagai ruanganku untuk mengerjakan berbagai desain
bangunan.
Aku
bekerja di salah satu perusahaan arsitektur di kota ini, seringkali proyek yang
ku pegang sejenis bangunan cafe, butik-butik, dan tak jarang juga aku mendesain
rumah. Sudah hampir 3 tahun aku tinggal di kota gudeg ini meninggalkan banyak
kenangan perih di kota asalku. Aku adalah Santi perempuan 25 tahun yang kini
hidup mandiri di kota perantauan, aku lahir di kota Kupang yaitu salah satu Kota
yang berada di NTT. Ayah dan ibuku adalah orang asli Surabaya, hanya saja sejak
ayahku dipindah kerjakan disana kami hidup di Kota Kupang. Aku 3 bersaudara dan
aku anak paling bungsu, kedua kakak ku entah sekarang hidup dimana. Aku tak
pernah mendengar kabar mereka lagi. Derasnya Hujan kali ini memaksaku mengingat
kembali kejadian yang telah berusaha kulupakan bertahun-tahun.
***
Hari itu,
adalah hari pertamaku menjalani ujian akhir semester, di semesterku yang ke
lima. Aku sudah menyiapkannya berminggu-minggu yang lalu, mulai dari mengulang
materi yang disampaikan dosen, melakukan beberapa latihan sketsa, sampai
membaca banyak referensi. Tapi ada satu hal yang membuatku gelisah dan entah
apa itu. Dua mata kuliah hari ini sudah terselesaikan dengan baik tapi entah
hatiku masih saja tetap gelisah. Kubuka ponselku yang tadi ku tinggalkan di dalam
tas dalam keadaan silent. Ku lihat di
layar ponselku tertulis ada 15 panggilan tak terjawab, kubuka daftar panggilan
tak terjawab itu dan kesemua 15 panggilan itu adalah nomor kak Ari, kakak
keduaku. Hatiku semakin gelisah ku coba telfon kembali nomor kak Ari, dengan
gemetar ku pencet tombol hijau diponselku dan ku dengarkan nada sambungnya.
“Halo,
kak Ari?” sapa ku padanya. Ku dengar suara yang sangat berisik sekali di sana.
Banyak sekali orang berbicara dan sesekali aku mendengar suara tangis
samar-samar. Tiga detik setelah aku menyapanya masih tidak ada jawaban. Pikirku
sinyalnya mungkin saja kurang mendukung.
“Halo,
Kak Ari? Ada apa?” aku mengulang sapaanku padanya. Masih tidak ada jawaban
sampai akhirnya yang kudengar hanya tangisannya. Dia masih belum mengatakan
apapun. Kali ini kegelisahanku bertambah, aku bisa mendengar sendiri suara
degub jantungku.
“Ayah, San,”
dengan suara penuh tangis Dia mengatakannya. Dadaku mulai sesak tidak tau apa
yang terjadi dengan ayah tapi tangisan kak Ari berarti jelas ada hal buruk yang
menimpa ayah ku.
“Ayah
kenapa kak?” menanyainya dengan tidak sabar. Dia masih terus menangis.
“Ayah
menunggumu pulang, kamu pulang hari ini ya dek.”
“Iya kak.”
Hari itu
juga aku langsung mencari penerbangan tercepat dari Jogja menuju Kupang. Hanya
tertinggal satu penerbangan hari itu dan aku langsung mengambilnya. Pukul 00.15
aku tiba di Kupang, aku dijemput pamanku di bandara. Selama perjalanan tak ada percakapan antara aku dengan pamanku.
Aku tidak menanyakan apapun pada paman Haris, begitu pun dengan paman Haris,
dia juga tidak menceritakan apa yang terjadi pada ayah. Sesampainya di rumah,
kulihat banyak sekali orang di sana. Suara isak tangis kembali terdengar,
kulihat ibuku berjalan gontai ke arahku, memeluk dan menangis di pelukanku.
Tubuhku lemas melihat jenazah laki-laki terbaring kaku di ruang tamu saat ini,
pandanganku mengabur dan tubuhku jatuh terkulai di lantai.
Dua
hari setelah pemakaman ayah, aku baru tahu selama 2 minggu ini ayah di rawat di rumah sakit, dan dia
menyerah di hari ke 14 nya dirumah sakit. Ayah sakit, dan aku tidak tahu menahu
soal itu, tidak ada yang memberi tahuku tentang sakit ayah sebelumnya. Ayah
tidak membiarkan siapapun memberi tahuku. Dia hanya meninggalkan pesan pada
Kakakku bahwa ayah sangat merindukanku.
“San
makan dulu,”ucap Kak Ari yang masuk kekamarku dengan membawa sepiring nasi dan
segelas teh.
”Kenapa
kakak tidak memberi tahuku soal ayah?” tanyaku padanya.
“Makan
dulu san, kamu sudah dua hari ini tidak makan,” jawab kak Ari memutus
pertanyaanku.
“Jawab
pertanyaanku kak!” pintaku dengan mata sembab.
Kak Ari masih diam, kemudian memelukku
sambil menangis. Kami terisak dengan fikiran yang berbeda di otak kami
masing-masing.
“Ayah
tidak pulang ke rumah sudah dua bulan ini San,” Kak Ari mulai bercerita.
“Maksudnya
kak?” tanyaku tidak mengerti.
Kak Ari bercerita bahwa tiga
bulan terakhir ayah tidak pulang, katanya ayah punya isitri lain diluar kota,
entah sejak kapan ayah mengenal wanita itu. Ibu mengetahui hal ini, kak Ari dan
kak Rian juga mengetahuinya. Banyak hal yang telah mereka lakukan, terutama ibu,
untuk menyadarkan ayah. Tapi semuanya percuma, ayah memilih wanita itu dan dia
juga tidak mau meninggalkan ibu. Tidak ada yang ingin jika aku mengetahui
tentang hal ini, baik ayah, ibu, dan kedua kakakku. Selama aku di Jogja memang
tidak ada kabar buruk yang aku terima, hanya saja ayah memang lebih jarang
menghubungiku. Liburan semester lalu aku pulang ke Kupang dan ayah masih
dirumah, semuanya baik-baik saja fikirku. Tapi setelah mendengar cerita dari
kak Ari aku menyesal kenapa aku tidak tahu dari awal.
“Aku
benci Ayah,” hanya kata itu yang keluar dari mulutku saat itu.
“Jangan
membencinya, dia sangat menyayangimu San,” ucap Kak Ari kembali memelukku.
“Tapi
kenapa ayah melakukan ini pada kita? Hah?” tanyaku setengah berteriak, kak Ari
hanya menangis dan terus memelukku.
Hari kelima sepeninggal ayah,
aku memutuskan untuk kembali ke Jogja. Aku tidak ingin berlama-lama di rumah.
Terlalu banyak hal yang memusingkan yang tidak ingin aku ketahui, semuanya
sudah berubah.
***
Sepeninggal
ayah, kondisi keuangan rumah tidak sekondusif dulu lagi. Ibuku hanya seorang ibu
rumah tangga dan kedua kakak ku sudah berkeluarga. Tidak mungkin aku
membebankan hidupku pada mereka. Terlebih ayah telah memiliki istri dan anak
lain disana, hingga membuatku memutuskan untuk bisa membiayai hidupku sendiri.
“San,
katanya kamu mau cari kerja,” kata Rena sambil memberiku sebotol air mineral.
Rena adalah sahabatku, sepulang dari Kupang kapan hari, aku menceritakan
semuanya pada Rena termasuk keinginanku untuk mencari kerja.
“Iya
Ren, kenapa? kamu ada info lowongan kerja?” tanyaku pada Rena.
“Kemarin
aku tanya-tanya ke pakde ku, katanya di kantornya ada lowongan. Coba kamu
langsung kesana saja besok, aku antar,” kata Rena.
“Makasih
banyak ya Ren,” kataku sambil memeluknya.
Sesampainya
di kantor pakde Rena yaitu pakde Yatno kami langsung menemui nya, dia adalah
pekerja di salah satu kantor travel terkenal di Jogja. Setelah mendengarkan
penjelasan dari pakde Yatno, aku tertarik untuk mendaftar sebagai salah satu guide di kantor travel ini. Keesokan
harinya, aku datang kembali ke kantor itu dengan membawa berkas-berkas
persyaratan. Setelah melalui sesi wawancara, aku kembali kekampusku untuk
berkuliah.
Sebulan
berlalu aku masih tidak bisa menghilangkan rasa sedihku. Ibu selalu menangis
ketika aku menelpon. Beliau selalu memintaku untuk pulang, beliau merasa
kesepian disana. Kedua kakak ku jarang menghubunginya, sedangkan aku tinggal
jauh darinya. Dia selalu mengingatkan ku untuk memaafkan ayah, dan aku selalu
berkata “iya” meskipun masih sangat sulit melakukannya.
***
“Halo,
selamat pagi. Apakah benar ini Saudari Santi Kirana?” terdengar suara perempuan
menyapa dari sebrang sana.
“Iya
benar, saya sendiri,” sahutku.
Setelah
berbicara lama ternyata perempuan itu adalah pegawai dari kantor pakde Yatmo
yang memberi kabar bahwa aku di terima sebagai pekerja lepas, dan aku bisa
bekerja mulai besok. Keesokan harinya aku sengaja bolos kuliah untuk datang ke
kantor travel ini, disana aku di jelaskan bahwa aku bisa bekerja sesuai dengan
jadwal kuliahku. Jadi aku akan bekerja setiap akhir pekan. Membawa turis
berkeliling Jogja. Tidak ada hari libur lagi bagiku. Semuanya hanya tentang
kuliah dan bekerja. Semua ini ku lakukan untuk ibu, Satu-satu nya orang yang
paling berharga yang kumiliki saat ini. Satu setengah tahun ku habiskan hari-hariku
seperti itu. Tak jarang aku meninggalkan kuliahku demi pekerjaanku. Di tahun
terakhir ini aku ingin fokus menggarap skripsiku. Tahap inilah tahap paling
sulit bagiku setelah semuanya dapat aku lalui.
Pamanku
dari Kupang mengabariku bahwa kondisi kesehatan ibu memburuk. Aku ingin sekali
pulang, tapi aku tidak bisa meninggalkan kuliahku, juga pekerjaan ku. Kurang
sedikit lagi dan aku bisa menemani ibu di Kupang selama yang aku bisa. Aku
melalui hari-hari setegar yang aku bisa. Aku selalu menanyai keadaan ibuku di
rumah pada pamanku. Hanya dia yang sekarang bisa merawat ibu. Entah kemana dua
kakak ku pergi, mereka tidak pernah menghubungiku, bahkan sekarang kontak
mereka tidak bisa dihubungi lagi.
Semuanya
berjalan lancar sampai hari sidang skripsiku tiba. Kondisi ibu tidak memburuk
tapi tetap sedang tidak baik. Terakhir kali aku mengabarinya dia sedang
beristirahat, tak lupa aku meminta doanya agar dapat dilancarkan untuk hari
ini. Aku masuk ruangan sidang, tanganku dingin, mungkin juga ditambah dengan
dengan dinginnya ruangan ber-AC . Dalam batinku saat itu aku harus
menyelesaikannya saat ini dengan baik, sehingga setelah itu aku bisa hidup
tenang dengan ibu.
Saat aku
keluar dari ruang sidang, disana ada Rena sedang menungguiku dengan buket bunga
di tangannya.
“Selamat
ya San, kamu berhasil,” dia memelukku sambil menangis.
“Makasih
Ren, kamu udah nemenin aku sejauh ini,” aku balas memeluknya.
“Kamu
jadi pulang hari ini?” tanya Rena sambil memberikan bunganya padaku.
“Iya
Ren, hari ini. Aku sudah tidak sabar bertemu ibuku,” jawabku.
Setelah satu tengah tahun tidak
bertemu dengan ibu, aku akhirnya pulang ke rumah hari ini. Aku sudah ijin kepada
atasanku di kantor untuk memberiku cuti beberapa hari. Pesawat lepas landas
pukul 16.15 WIB. Aku tiba di rumah sekitar dua jam kemudian.
Aku
lihat ibu duduk menungguku diruang tamu sendirian. Aku memeluknya, memandangi
wajahnya, nampaknya ibuku sudah semakin tua. Wajahnya sangat lelah, kantung
matanya terlihat jelas, ku genggam tangannya yang mulai keriput. Kami berdua melepas
rindu.
“Kamu
pasti lelah nak, ayo istirahat!” kata ibu sembari membelai rambutku dengan lembut.
“Santi
ingin tidur dengan ibu. Boleh?” pintaku padanya.
“Iya,
Santi temani ibu tidur malam ini ya nak,” jawab ibu dengan tatapan matanya yang
penuh kasih. Kami pun beranjak masuk ke kamar ibu. Membantu ibu berbaring
kemudian aku membersihkan diri. Setelah selesai membersihkan diri aku kembali
ke kamar ibu, dan melihatnya belum juga tertidur.
“Kok
ibu belum tidur? Ibu kan harus istirahat bu,” tanyaku sambil berbaring di
sampingnya.
“Gak
papa Santi, ibu rindu pada anak perempuan ibu,”jawab ibu memandangiku. Aku
memeluknya dan aku bisa merasakan air matanya mulai jatuh. Akupun tidak bisa
menahan air mataku yang kini sudah membasahi pipiku.
Sampai
larut malam kami tetap tidak bisa tidur. Ibu bercerita tentang istri Ayah yang
tiba-tiba datang meminta warisan. Dan tentang kedua kakak ku yang tidak pernah
mengunjunginya sekali pun. Ibu juga tidak bisa menghubungi mereka sejak mereka
pulang dari Kupang terakhir kali. Ibu juga bercerita hari-harinya kesepian. Dia
sedirian dan dia ingin aku tidak meninggalkannya lagi. Mungkin memikirkan semua
hal itulah yang menyebabkan kondisi kesehatan ibu semakin memburuk. Seminggu
aku menemani ibu di rumah. Membantunya memasak, menanami kembali halaman rumah
dengan bunga-bunga yang ibu sukai. Semuanya sangat membahagiakan. Sampai saat
malam itu tiba.
Tiba-tiba
kondisi ibu menurun drastis. Penyakit jantungnya kambuh, kemudian ibu dibawa ke
rumah sakit terdekat. Kondisinya kritis. Dokter tidak mengizinkanku masuk menemuinya.
Paman dan bibiku datang menyusul kami ke rumah sakit. Aku menangis di pelukan
bibiku, sementara paman mengurus administrasi di rumah sakit. Dua hari berlalu. Ibu tidak kunjung sadar. Kata dokter
jantungnya semakin hari semakin melemah.
“Ya
Tuhan, selamatkan ibuku. Dia satu-satunya yang kupunya saat ini,” pintaku dalam
hati.
Di hari
ketiga, ibu masih tidak sadarkan diri. Kata dokter, tidak banyak harapan untuk
ibu sembuh. Semua keluarga di perbolehkan masuk. Saat itu aku hanya bisa menangis
menyaksikan ibuku terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sampai menjelang sore,
kondisi ibu kembali kritis. Dokter dan perawat datang berlarian ke kamar ibu.
Setelah melakukan berbagai usaha, dokter keluar dan akhirnya ibu tidak bisa
diselamatkan.
Sungguh,
Ibu satu-satunya yang kupunya, dan Dia telah mengambilnya kembali. Aku masih
seminggu disini dan ibu memintaku untuk tidak meninggalkannya lagi. Tapi
kenyataannya, saat itu beliulah yang meninggalkan aku. Sampai ibu dimakamkan,
kedua kakak ku masih tidak bisa dihubingi. Mereka tidak tahu, kini kami telah
menjadi yatim piatu. Sekrang aku
benar-benar hidup sebatang kara. Seminggu berlalu setelah kematian ibu, aku
masih tidak bisa mengiklaskannya pergi. Aku seperti orang gila, mengurung diri
dalam kamar menangisi keadaan. Membenci ayah, membenci kedua kakakku, dan
membenci diriku sendiri. Andai saja dari dulu aku bisa menemani ibu lebih lama,
pasti ibu tidak akan pergi secepat ini.
Sebulan
berlalu, Rena menyusulku ke Kupang. Entah dari mana dia tau tempat tinggalku,
yang pasti dia tidak menghubungiku akan ke sini.
“San,
minggu depan hari wisudamu. Kamu tidak ingin kembali ke Jogja?” Tanya Rena.
“Aku
tidak ingin kembali kesana Ren. Aku hanya ingin disini saja, dekat dengan ibu
dan ayahku disini,” jawabku dengan tatapan kosong.
“Tapi
San, semuanya sudah berubah. Kamu harus memulai hidup barumu kembali. Ayah dan ibu
mu akan sedih jika melihatmu seperti ini,” tutur Rani sembari memegang
tanganku.
“Apakah
kau yakin semuanya akan lebih baik jika aku kembali ke Jogja?” tanyaku dengan menatap mata Rena.
“Tidak
akan pernah ada yang tau jika kamu tidak mencobanya San,” jawab Rena dengan
menatapku yakin. Maka sejak saat itulah aku ikut Rena kembali ke Jogja. Aku
berpamitan kepada paman dan bibiku. Aku berjanji akan kembali, mereka
memelukku.
“Pergilah
nak, sembuhkan hatimu disana. Kamu harus tabah, paman yakin kamu kuat, Santi
bisa melalui ini semua,” kata paman yang sekali lagi memelukku.
Setelah berpamitan, aku dan Rena
menuju bandara. Dengan kekuatan yang entah dari mana aku berniat melanjutkan
hidupku di Jogja.
Berbulan-bulan aku mencoba menyembuhkan hatiku
dengan mencari kesibukan lain. Aku mencoba mendaftar kerja dan mencoba mencari
beasiswa S2. Begitu terus kehidupanku sampai akhirnya bulan-bulan sulit itu
telah berlalu dan berganti tahun-tahun penuh pengalaman baru. Dan, disini aku
sekarang, terduduk dikursi dengan memandangi hujan dari jendela dapurku,
menyimpan semua kenangan pahitku menjadi kisah yang mungkin tidak akan pernah
kubuka kembali. []
Komentar
Posting Komentar