Oleh : Desy Wahyuningsih
Undang
– Undang Nomor 2 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sempat ramai di
media massa. Selain itu, UU MD3 ini juga memicu banyaknya pro kontra di
kalangan masyarakat umum. Pasalnya di dalam Undang – undang ini disinyalir
mengandung pasal – pasal yang dapat mengkebiri kebebasan berpendapat
masyarakat. Selain itu adanya ketidak sepahaman antara presiden dengan Menteri
Hukum dan HAM menambah polemik pengesahan Undang – Undang ini hingga berujung keengganan
presiden untuk menandatangani draft rancangan Undang – Undang tersebut. Hal ini
jelas menambah panjang deretan pertanyaan di khalayak umum terkait bagaimana
kerjasama dan kekompakkan kalangan istana.
Berbagai macam penolakan datang dari beberapa wilayah
di Indonesia. Seperti yang dilansir bbc Indonesia pada 14 Maret 2018, di Medan
demonstrasi mahasiswa yang menolak UU MD3 berakhir ricuh dan menumbangkan
gerbang DPRD. Pada tanggal 5 Maret 2018, empat mahasiswa di Bengkulu harus
berurusan dengan pihak kepolisian karena diduga sebagai provokator dalam demo
yang berakhir ricuh dengan tuntutan yang sama, yakni penolakan terhadap revisi
UU MD3. Penolakan online juga terjadi dengan adanya petisi “Tolak Revisi RUU
MD3! Ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi” yang ditandatangani oleh 78
ribu pendukung lebih.
Diawali
dengan hal yang paling memantik pro kontra masyarakat, yakni terkait adanya
sanksi pemidanaan bagi pengkritik DPR. Hal tersebut tertuang dalam pasal 122
huruf K yang berbunyi “mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap
orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan
DPR dan anggota DPR”. Jelas saja hal ini banyak dipertentangkan di berbagai
lapisan masyarakat. Mengingat kembali Indonesia adalahnegara demokasi yang
menjunjung tinggi hak – hak asasi manusia, salah satunya yakni hak tentang
kebebasan berpendapat.
Jika
berbicara terkait konteks kebebasan berekspresi di dalam sebuah negara
Demokrasi, maka hal yang paling penting untuk ditekankan adalah cara
menggunakan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab. Namun dengan
semakin pesatnya tekhnologi dan informasi yang terkadang digunakan secara
serampangan oleh beberapa oknum menyebabkan maraknya hoax dimana hal tersebut menyebabkan situasi wacana dan opini
publik di Indonesia semakin tidak kondusif. Kecepatan laju perkembangan
tekhnologi dan akses informasi zaman now,
tidak diikuti dengan kemampuan masyarakat dalam mengolah informasi dan
melakukan cek terhadap kebenaran suatu berita maka terciptalah mekanisme
pertahanan diri dari suatu lembaga untuk melindungi diri dari serangan hoax yang dirasa semakin meresahkan.
Namun
mengingat terdapatnya pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka
sesuai dengan tujuan hukum mengenal adanya kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Kembali pada pasal 122 huruf K, di dalam pasal tersebut tidak terdapatnya
penjelasan ataupun batasan – batasan tentang apa itu yang dimamksud dengan
merendahkan kehormatan DPR secara gamblang dapat menjadikan pasal ini sebagai pasal karet. Tidak jelasnya batasan
pasal ini, dianggap sebagai upaya pengkebirian kebebasan berpendapat masyarakat
terhadap bagaimana kinerja para wakilnya dalam bidang legislasi, menyampaikan
aspirasi dan keresahan rakyat. Hal ini juga secara nyata juga tidak senafas
dengan adanya tujuan hukum tersebut.
Selain
itu berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Perancangan
Peraturan Perundang – Undangan pasal 7 terkait adanya hierarki perundang –
undangan, sudah selayaknya peraturan perundang – undangan apapun tidak boleh
bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dilihat dari aspek sinkronisasi
secara vertikal, adanya ketentuan pasal 122 huruf K UU MD3 berpotensi
bertentangan dengan pasal 28D Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 utamanya terkait tentang perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selain
itu adanya potensi pengkriminalisasi
tentang hak berpendapat disebabkan tidak adanya batasan – batasan yang jelas
tentang pengertian perbuatan apa saja yang masuk ke dalam tindakan penghinaan terhadap DPR, jelas dapat
menjadi momok masyarakat dimana hal tersebut dapat membungkam sikap kritis
masyarkat. Dari gambaran yang ada, maka terkesan bahwa wakil representasi
rakyat yang seharusnya duduk di bidang legislasi, menyampaikan suara rakyat
malah anti kritik. Dari aspek sinkronisasi secara vertikal pun sesuai dengan
penjelasan di awal bahwa UU MD3 ini akan bertabrakan dengan adanya Undang
- Undang lain yang sejenis.
Sejak
awal pembahasan hingga disahkan oleh DPR pada 12 Februari 2018, revisi UU MD3
ini memang mengundang banyak polemik. Melalui cuitan twitter milik Presiden Joko Widodo pada tanggal 21 Februari 2018,
dengan account @jokowi menyatakan :
“Draft UU MD3 sudah di meja saya,
tapi belum saya tandatangani. Saya memahami keresahan yang ada di masyarakat
mengenai hal ini. Kita semua ingin kualitas demokrasi kita terus meningkat,
jangan sampai menurun –Jkw”
Maka
kembali menuai pertanyaan di khalayak umum terkait sikap presiden yang seakan
tidak kompak dengan Menteri Hukum dan HAM. Banyak versi yang mengaitkan cuitan
presiden ini hanyalah manufer politik semata. Namun entah bagaimana kebenaran,
apakah itu hanya strategi politik atau memang terjadi ketidak sepahaman antara
Presiden dengan Menterinya, yang pasti sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat
(5) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan
bahwa “dalam hal rancangan undang –
undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang – undang
tersebut disetujui, rancangan undang – undang tersebut sah menjadi undang –
undang dan wajib diundangkan”, maka dengan ataupun tanpa tanda tangan
Presiden Jokowi Widodo Revisi UU MD3 secara sah dapat menjadi sebuah Undang –
Undang yang harus dijadikan sebagai landasan berpijak dalam melakukan segala
tindakan hukum.
Lalu
hal apa yang dapat dilakukan masyarakat terkait adanya Pasal dalam UU MD3 yang
berpotensi dapat mengkebiri Hak berpendapat ?
Caranya
yakni dengan mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi
apabila benar diakatakan adanya derogasi hak konstitusional terhadap
pemberlakuan UU MD3 tersebut. Mahkamah Konstitusi sebagai garda terdepan
penegak hak – hak konstitusional sangat diharapkan dapat bersikap independen.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengembang dan pengimplementasi amanah cabang
yudikatif, terlepas dari banyaknya kontroversi yang sempat hinggap, tetap
menjadi harapan Rakyat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar