Oleh : Deviatul
Indah Pramadhani
“Hasil dari limit
di tak hingga ada bermacam-macam, jika hasil tersebut merepresentasikan
anggapan orang lain mengenai diri lo sedangkan variabel yang mendekati tak
hingga adalah rasa sayang lo ke mereka dan fungsi yang dilimitkan adalah sikap
yang lo tunjukkan, kenapa lo selalu memilih fungsi yang malah menghasilkan
nilai negatif?”
-
A
story about brothership
Rumah idaman sejatinya bukanlah rumah yang menjulang
tinggi dan megah bagai istana. Bagi orang yang materialis mungkin menganggap premis
tersebut salah besar. Namun, bagi orang seperti Abdi tentu menyetujui premis
tersebut tanpa perlu berpikir panjang. Sekarang ia tinggal di rumah bagai
istana yang menjadi idaman bagi beberapa orang, tetapi ia tinggal sebatang
kara. Hampir 22 tahun ia menghirup oksigen di dunia, hampir tak pernah pula ia
merasakan memiliki keluarga yang harmonis. Awalnya ia tinggal bersama neneknya,
tapi beliau telah meninggal dunia ketika Abdi baru menginjak bangku SMA.
Tepatnya saat Abdi kelas 11. Sejak saat itu, Abdi merasa dunianya telah usai.
Ia merasa telah kehilangan segalanya. Abdi memang tidak pernah merasakan
kekurangan materiil, tetapi tetap saja ia merasa hidupnya terlalu hampa. Sudah
berulang kali ia melakukan percobaan bunuh diri, tapi selalu gagal. Tuhan
selalu menyelematkan Abdi. Entahlah, Abdi merasa Tuhan ingin Abdi memperbaiki
diri terlebih dahulu. Abdi tidak tahu, haruskah ia bersyukur atau tidak.
“Mas Abdi…” Seseorang menyadarkan Abdi dari lamunannya.
Abdi buru-buru menguasai air muka. Terlebih ketika melihat orang yang memanggilnya.
Abdi tak ingin menampakkan kesedihan sedikitpun di hadapannya.
Lelaki dengan tinggi sekitar 183 cm di hadapan Abdi
tampak gemetar memberikan satu bendel kertas kepada Abdi. Kemudian bersuara, “itu…
itu skripsinya Farhan, Mas. Alhamdulillah sudah selesai. Hari Rabu nanti aku
sidang, Mas Abdi datang ya? Kemarin kan pas aku sempro, Mas Abdi nggak bisa
datang. Sekarang, aku mohon Mas Abdi buat datang ya?” Namanya Farhan. Ia
dikenal sebagai lelaki tangguh, terkecuali ketika berhadapan dengan Abdi.
“Gak sudi.” Sembari berucap ketus, Abdi pun melempar satu
bendel kertas yang tak lain merupakan skripsinya Farhan ke sembarang arah. Tak
cukup sampai disitu, Abdi juga segera bangkit dan membanting pintu rumahnya
dengan keras tanpa mempedulikan Farhan. Bukan sekali dua kali Farhan
diperlakukan seperti ini oleh Abdi, tapi lelaki itu tak pernah menyerah. Mungkin
belum saatnya, begitu yang Farhan pikirkan sembari beristigfar dan memohon agar
Abdi mau bersikap baik kepadanya kembali.
///
“Ditolak lagi?” Baru sampai, Farhan
sudah dihujani pertanyaan oleh adik bungsunya. Bagus namanya. Farhan mengangguk
lemas. “Kan udah gue bilang, percuma Mas,” omel Bagus. “Batu perlu ditetesi air
berkali-kali sehingga bisa berlubang. Kita jangan menyerah, Mas Abdi mungkin
masih perlu waktu.” Kali ini yang berujar bukan Bagus, melainkan Fajar. Fajar juga
merupakan adiknya Farhan. Bagus memutar kedua bola matanya sembari berdecak
sebal. “Mau sampai kapan, Jar? Semenjak dia keluar dari rumah ini, kita—bahkan
ibu selalu berusaha buat bujuk dia dan ngomong baik-baik ke dia. Tapi hasilnya
apa? Nihil, dia tetep dengan pendiriannya yang angkuh. Dia nggak butuh kita,
selamanya begitu. Gue muak sama dia.” Tepat setelah menyelesaikan kalimatnya, Bagus
meninggalkan kedua saudaranya dan seperti biasa akan mengurung diri di dalam
kamar. Memang di antara mereka, Bagus adalah orang yang tidak begitu suka
dengan Abdi.
Farhan dan Fajar menatap kepergian
Bagus dengan tatapan nanar. “Maaf… Gara-gara gue, Mas. Gue perlu nyusulin Bagus
nggak?” tanya Fajar dengan rasa bersalah. “Enggak… nggak usah, Jar. Bukan salah
lo, Bagus kan emang kayak gitu,” jawab Farhan dengan menggelengkan kepala. Tak
lama berselang, Farhan memperhatikan Fajar di sampingnya tengah memegangi
dadanya dengan nafas yang terengah-engah. Farhan tentu langsung panik, “Jar, lo
kenapa? Obat lo udah diminum belum?” Fajar hanya bisa menggelengkan kepalanya
untuk menjawab pertanyaan Farhan. Tanpa perlu berpikir panjang, Farhan langsung
berlari untuk mengambil obat dan minum untuk adiknya. Beruntung Farhan cepat
tanggap, sehingga Fajar tidak sampai kumat parah.
Fajar memang tidak sepenuhnya sehat
secara jasmani. Struktur jantung Fajar bermasalah sejak lahir. Ia menderita
jantung bocor atau kelainan bawaan (kongenital) yang membuat aliran normal
darah melalui jantung menjadi tidak normal. Septum jantung atas yang befungsi
untuk mencegah percampuran darah terhadap dua sisi jantung milik Fajar terdapat
lubang. Jantung mempunyai 4 ruangan, 2 di kiri dan 2 di kanan, bagian atas
adalah serambi dan bagian bawah adalah bilik. Jantung Fajar mengalami kebocoran
di septum antara dua serambi atas jantung yang disebut defek septum atrium (Atrial
Septal Defect/ASD). Darah dari sebelah kiri jantung Fajar bisa masuk ke
sisi kanan, sehingga darah yang kaya oksigen akan dipompa ke paru-paru, bukan
ke tubuh. Hati Farhan terasa tersayat-sayat ketika otaknya kembali mengingat
detail penyakit Fajar.
“Mas… gue udah nggak kenapa-kenapa
kok.” Fajar berusaha bersuara meskipun masih dalam kondisi lemas. Jelas ia
tidak bisa melihat kakaknya yang tengah menatapnya tetapi dengan pandangan
kosong. Kakaknya yang satu itu sudah terlalu banyak pikiran. Tetapi untungnya
skripsinya dapat selesai tepat waktu—bahkan termasuk paling awal dari
teman-teman seangkatannya. “Alhamdulillah. Jangan terlalu lelah dan banyak
pikiran, Jar.” Fajar mengangguk. “Ibu kemana, Jar? Ke Pasar?” tanya Farhan
kemudian. Fajar lagi-lagi mengangguk, “makan siangnya udah disiapin di dapur,
Mas.” Farhan membalas, “ya udah lo ke dapur dulu aja biar gue bujuk Bagus.” Tradisi
mereka dari dulu memang seperti itu, makan harus bersama-sama, tidak ada yang
boleh tertinggal.
Fajar menyetujui perintah Farhan dan langsung bangkit
untuk bergegas ke dapur. Farhan memandang punggung Fajar yang semakin menjauh,
kemudian menghela nafas dalam. Kesehatan Fajar akhir-akhir ini menurun, beberapa
hari yang lalu bahkan sampai batuk berdarah. Farhan tidak tahu harus berbuat
apa. Fajar selalu menolak ke rumah sakit sebelum kondisinya sangat parah—itupun
terpaksa. Perekonomian keluarga mereka memang pas-pasan. Farhan bisa berkuliah saja
berkat atasannya. Awalnya, setelah Farhan lulus SMA, ia langsung mencari
pekerjaan. Farhan tak pernah bisa melupakan kejadian saat ia dipertemukan oleh
anak atasannya sekarang. Siang itu, saat Farhan tengah dirundung kegalauan
akibat pekerjaan yang tak kunjung ia dapatkan, lelaki itu membantu seorang
laki-laki yang baru saja kecopetan. Farhan berhasil mengejar sekaligus melawan
si pencopet. Kemudian, Farhan pun memberikan dompet kepada korban. Ternyata,
tangan korban tampak baru tersayat pisau—hipotesis Farhan sayatan pisau itu
ulah si pencopet. Singkatnya Farhan juga membantu mengantarkan lelaki itu ke klinik terdekat untuk mengobati
luka-lukanya.
Begitulah pertemuan pertama sekaligus perkenalan
Farhan dengan Agung—anak dari atasannya sekarang. Agung sangat berterimakasih
kepada Farhan sampai-sampai ia mau menawari Farhan pekerjaan. Awalnya Farhan
ragu, namun setelah bertemu dengan ayahnya Agung dan beliau mengatakan kalau
Farhan akan mampu bekerja sebagai data entry di perusahaannya, Farhan merasa
sedikit bahagia sekaligus percaya diri. Beberapa hari bekerja, ayahnya Agung
menjajikan akan menaikkan gaji Farhan dengan syarat Farhan harus mau berkuliah dan
mengambil kelas karyawan. Farhan tentu terkejut dan bertanya-tanya kepada
atasannya itu, apakah ini imbalan karena telah menolong Agung? Farhan
mengatakan kalau ia ikhlas menolong Agung dan tidak mengharapkan imbalan
apa-apa. Ia juga bertanya, apakah dia benar-benar layak? Semua itu hanya
dibalas senyuman oleh atasannya. Kemudian beliau berujar, “kamu layak, Han.
Anggap saja ini hadiah dari Allah karena kamu sudah menjadi anak yang baik
selama ini.” Farhan terus dibujuk oleh beliau—dan juga Agung. Akhirnya Farhan
pun bersedia.
Kebaikan mereka ternyata tak sampai disitu. Adik-adiknya
juga direkrut bekerja dan dikuliahkan oleh mereka. Farhan semakin merasa tidak
enak—terlebih kepada karyawan-karyawan lain. Farhan mengungkapkannya kepada
Agung, namun lelaki satu tahun lebih tua dari Farhan itu hanya tersenyum dan mengatakan
tidak apa-apa. Tidak ada karyawan ayahnya yang iri karena semua telah mendapat
porsinya masing-masing. Kenyataannya memang begitu. Tidak ada karyawan yang tampak
iri dengan Farhan karena yang Farhan lihat semuanya diperlakukan secara adil
disini. Awalnya memang Fajar dan Bagus sama-sama ikut bekerja sekaligus kuliah,
meskipun baik Farhan, Bagus, dan ibu mereka melarang keras Fajar untuk bekerja.
Namun Fajar tetap kekeuh, baru berhenti ketika Fajar harus rawat inap selama
beberapa hari. Semua biaya rumah sakit ditanggung keluarga Agung. Bahkan, Fajar
masih diperkenankan berkuliah dengan biaya dari mereka. Beruntungnya dari awal
Fajar berkuliah di Universitas Terbuka sehingga ia tidak akan terlalu kelelahan
karena pembelajarannya secara online. Begitu banyak kebaikan dan jasa
keluarga Agung membuat Farhan cemas sebenarnya. Ia takut tak bisa membalas
semua kebaikan mereka dan tak bisa memenuhi ekspetasi mereka. Selama Farhan
semester akhir, atasannya itu juga menyuruhnya cuti dan fokus untuk menyusun
skripsi. Farhan tidak tahu terbuat dari apa hati mereka sampai-sampai mereka
bisa sebaik itu.
Farhan merasa terlalu lama duduk dan membiarkan Fajar
sendirian di dapur. Ia hampir lupa untuk memanggil—sekaligus membujuk Bagus. Lelaki
itu pun segera menuju ke depan pintu kamar Bagus. Seperti dugaannya, pintu
kamar Bagus terkunci. Ia pun mengetuk sembari berucap, “Gus…Makan siang dulu.
Kasihan Fajar udah nunggu dari tadi.” Namun Bagus tak kunjung merespon. Farhan
tak menyerah, “Gus…Kasihan Fajar.” Sekali lagi, “Gus…Fajar tadi sempet kumat.
Tapi untung gue bisa cepat tanggap.” Usaha Farhan membujuk Bagus memang tak
pernah sia-sia, kali ini dibuktikan dengan respon Bagus yang berucap, “lima
menit lagi.” Farhan merasa sedikit senang sekaligus lega. “Oke, ditunggu ya
Gus.”
Baik Farhan maupun Fajar percaya kalau Bagus mengurung
diri karena kecewa mereka berdua masih menganggap Abdi ada dan tak pernah
menyerah bersikap baik kepadanya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Bagus
mengurung diri karena terlalu sakit ketika mendengar penolakan-penolakan yang
selalu Abdi berikan kepada mereka—terlebih Farhan. Bagus berbohong dan selalu
berpura-pura membenci Abdi di hadapan kedua saudaranya.
Bagus diam-diam selalu memandangi foto mereka berempat
saat masih kecil yang selalu Bagus sembunyikan secara rapi di bawah kasur
tempat tidurnya. Air matanya selalu menetes ketika melihat foto itu. Ia teramat
merindukan kakak sulungnya, Abdi. Benar, Abdi adalah kakaknya. Abdi, Farhan,
Fajar, dan Bagus memang bersaudara. Ayah mereka sama, tapi ibu mereka berbeda—berbeda
semua. Orang yang dipanggil ibu dan tinggal bersama dengan Farhan, Fajar, dan
Bagus bukanlah ibu salah satu dari mereka, melainkan kakak kandung dari ibunya
Bagus.
Sebenarnya cukup rumit dan aib untuk diceritakan
secara detail. Yang jelas selain ibunya Abdi, mereka hanyalah—istilahnya istri
simpanan ayah mereka. Mereka bertiga—Ibunya Farhan, Fajar, dan Bagus dinikahi
secara siri. Baik antara mereka bertiga sekaligus ibunya Abdi tidak mengenal
satu sama lain. Parahnya lagi, ayah mereka—Abdi, Farhan, Fajar, dan Bagus
mengaku masih lajang ketika menikahi ibunya Farhan, Fajar, dan Bagus sehingga mereka
tak mengira kalau ternyata mereka—sebenarnya hanyalah selingkuhan atau istri
simpanan. Hingga saat hari kelahiran Bagus akhirnya semuanya terbongkar. Bagus
tidak tahu—atau mungkin tidak ingat bagaimana hal itu bisa terjadi. Pokoknya
hari itu sangat kacau. Ayah mereka juga ketahuan korupsi dan kabur, akan tetapi
kabar terakhirnya telah berhasil ditangkap dan diputuskan dipenjara seumur
hidup oleh pengadilan.
Ibunya Abdi, Farhan, Fajar, dan Bagus tentu sangat
terpukul. Lebih-lebih Ibunya Abdi. Ibunya Abdi dan Fajar menghilang sementara
Ibunya Farhan mengalami gangguan kejiwaan sehingga harus dirawat di rumah sakit
jiwa. Mereka bertiga meninggalkan Abdi yang masih berusia 1 tahun 5 bulan,
Farhan berusia 10 bulan, dan Fajar yang baru berusia 3 bulan kepada Ibunya Bagus
yang posisinya baru memiliki bayi baru lahir. Baik keluarga besar Abdi, Farhan,
dan Fajar tidak ada yang mau menerima kehadiran mereka. Ibunya Bagus tentu kalang
kabut. Karena tuntutan yang ia rasa sangat berat dan membebaninya, Ibunya Bagus
memutuskan untuk bekerja ke luar negeri. Sementara keempat anak itu ia titipkan
kepada kakaknya yang janda dan tidak punya anak—yang sekarang dipanggil ibu
oleh mereka. Di usia Bagus yang sudah menginjak kepala 2, ibunya baru pulang ke
Indonesia sebanyak 3 kali. Ibunya terlalu betah merantau ke negeri orang
padahal dulu sempat ditipu habis-habisan. Setiap bulan pun ibunya hanya
mengirimkan uang seadanya—bahkan terkesan kurang untuk kehidupan 3 orang. Tapi,
ibu mereka—alias kakak dari ibunya Bagus tak pernah mengajari mereka untuk
mengeluh dan tidak bersyukur. Bagus sebenarnya kecewa dan sempat curiga ibunya
telah memiliki keluarga baru dan perlahan-lahan melupakannya tapi ia tak bisa
berbuat banyak.
Sementara Abdi mulai meninggalkan rumah mereka ketika
menginjak bangku SMP. Neneknya yang tak lain merupakan ibu dari ibunya Abdi tiba-tiba
datang dan menghasut Abdi dengan bercerita macam-macam. Neneknya itu bercerita
kalau Farhan, Fajar, dan Bagus adalah anak haram. Mereka bertiga yang
menyebabkan ibu dan ayahnya Abdi berpisah. Sebelum hari itu Abdi—sekaligus
Farhan, Fajar, dan Bagus tidak tahu-menahu terkait kebenaran yang pahit itu. Selama
ini orang yang mereka kenal sebagai ibu adalah orang yang tinggal bersama
mereka dan adiknya yang bekerja di luar negeri—yang tak lain adalah ibunya
Bagus dianggap sebagai tante mereka. Fajar dan Bagus juga dianggap kembar
karena tanggal lahir di akta mereka sama. Baru setelah Abdi memilih hengkang dari
rumah itu, orang yang selama ini mereka anggap sebagai ibu menceritakan
segalanya meskipun Farhan baru menginjak kelas 6 SD dan Fajar serta Bagus baru
kelas 5 SD. Beruntung Abdi tinggal tidak terlalu jauh dari mereka, sehingga
mereka bisa mengunjungi Abdi meskipun selalu diusir. Bagus merapikan rambutnya
dan segera menghapus air matanya. Ia tentu tak ingin terlihat acak-acakan di
depan kedua saudaranya.
///
“Limit tak hingga sama limit di tak
hingga bukannya sama aja, Wid?” tanya Abdi saat melihat tulisan dari layar
laptop yang menyala. Abdi tengah duduk berdua bersama seorang perempuan bernama
Widya yang merupakan sahabatnya. Posisi mereka sedang berada di ruang guru pada
sekolah milik Abdi—tepatnya milik Nenek Abdi. Tak hanya itu, neneknya juga memiliki
banyak cabang supermarket dan masih banyak usaha-usaha lain yang akhirnya
dikelola oleh Abdi sepeninggal neneknya. Ibunya yang sudah memiliki kehidupan
sendiri di luar negeri juga tak pernah absen untuk mengiriminya uang. Oleh
karenanya, Abdi tidak pernah kurang dari segi materiil.
“Nah ini. Konsep kayak gini ternyata
masih banyak yang salah.” Abdi mengernyit saat mendengar tanggapan dari
sahabatnya yang merangkap menjadi guru di sekolahnya itu. “Beda, Abdi. Limit
tak hingga itu berarti hasil limitnya tak hingga, kalau limit di tak hingga
berarti variabel independennya yang mendekati tak hingga.” Abdi tampak masih
mencerna ucapan Widya. “Biasanya variabel independen itu x bukan, Wid?” Widya
tersenyum sembari menjawab, “iya benar banget, Di. Jadi intinya untuk hasil limit
di tak hingga itu nggak hanya tak hingga.” Abdi manggut-manggut sebagai penunjuk
kalau ia mengerti ucapan Widya.
“Oh iya, Abdi.” Widya yang dari tadi
menyambi mengetik, tiba-tiba berhenti mengetik. Hal itu tentu membuat Abdi
sedikit kebingungan. “Iya, kenapa Wid?” ujar Abdi setelahnya. “Hasil dari limit
di tak hingga kan ada bermacam-macam, jika hasil tersebut merepresentasikan
anggapan orang lain mengenai diri lo sedangkan variabel yang mendekati tak
hingga adalah rasa sayang lo ke mereka dan fungsi yang dilimitkan adalah sikap
yang lo tunjukkan, kenapa lo selalu memilih fungsi yang malah menghasilkan
nilai negatif?” Lagi-lagi Abdi mengernyit kebingungan saat mendengar kata demi
kata yang keluar dari mulut Widya. “Hehe, lo kan disini bos ya, tentunya lo
mengayomi dan menyayangi semua guru dan staff disini kan?” Abdi mengangguk,
meskipun ia masih bingung dengan arah pembicaraan Widya. “Selain ke gue, kenapa
lo selalu bersikap dingin sama mereka? Gue selalu nggak enak sama yang lain,
soalnya waktu sama gue lo masih bisa senyum tapi kalo di hadapan yang lain,
tatapan yang lo berikan selalu tatapan elang dan muka datar? Anggapan mereka ke
elo selalu negatif.” Perkataan Widya tak ada yang salah. Abdi memang seperti
itu. Kalau saja Widya bukan sahabatnya dari SMA, mungkin akan mendapat
perlakuan yang sama dari Abdi. “Apa limit atau batas yang lo bangun memang
setinggi itu ya, Di? Selama ini gue nggak pernah tau lo yang sebenarnya. Lo
terlalu tertutup dan misterius.”
Jujur Abdi tidak tahu harus merespon
bagaimana. Ia terkejut karena Widya mengambil topik pembicaraan yang berat kali
ini. “Oke lah Di, gue nggak maksa lo untuk jawab atau cerita. Gue hanya
berharap mulai sekarang perlahan-lahan lo mau berubah, minimal jadi orang yang
ramah. Jangan terlalu dingin dan angkuh, jangan merasa hidup sendirian karena
masih banyak orang lain di sekitar lo.” Widya sembari mengelus pundak Abdi,
mungkin maksudnya untuk menenangkan karena mungkin saja perkataannya akan
membawa Abdi untuk memikirkan masalahnya selama ini. Abdi mencoba untuk mengalihkan pembicaraan,
awalnya ia ingin bertanya, “nanti mau pulang bareng?” tetapi ketika melihat
cincin yang melingkar di jari manis Widya membuat Abdi mengubah pertanyaannya
menjadi, “nanti pulangnya dijemput Adit?” Widya mengangguk kemudian membalas
pertanyaan Abdi dengan pertanyaan, “kenapa, Di?” Abdi menggelengkan kepalanya
dan tampak biasa saja.
Padahal aslinya tidak seperti itu. Ada
rasa marah dan kecewa pada dirinya. Ia terlalu lamban dan dingin sehingga
perempuan yang ia cintai telah menjadi milik orang lain. Lebih-lebih pemiliknya
juga sahabatnya sekaligus orang yang beberapa kali menyelematkannya dari
percobaan bunuh diri. Hari pertunangan Adit dan Widya bisa dibilang menjadi
hari terburuk Abdi setelah hari meninggalnya neneknya. Oleh karenanya, Abdi
merasa hidupnya tambah hampa.
///
Beberapa hari setelahnya, Abdi hanya
berdiam diri di rumah. Abdi memang hanya mengunjungi sekolahnya satu atau dua
kali dalam seminggu, sementara untuk usaha-usaha yang lain hampir tidak pernah
ia kunjungi. Karena sebetulnya sudah ada banyak tangan kanan neneknya yang
membantu mengelola semua itu. Meskipun dulu sempat ada dua orang yang menipu,
tapi setelah itu masih aman sampai sekarang.
Seperti biasa, Abdi memainkan
ponselnya di depan rumah untuk mengisi waktu luangnya walaupun kebanyakan ia
akan keterusan melamun. Biasanya akan ada orang yang menyadarkannya dari
lamunan, entah itu pesuruh rumahnya, tetangga, atau orang-orang itu.
Orang-orang itu yang dimaksud Abdi tidak lain adalah…Farhan, Fajar, atau Bagus.
“Mas Abdi…” Benar saja, kali ini yang menyadarkannya dari lamunan adalah
orang-orang itu. Abdi berdecak ketika melihat ada Farhan dan Bagus di sana. “Kenapa
lagi? Lo mau protes karena gue gak datang kemarin? Kan udah gue bilang, gue gak
sudi datang ke sidang skripsi lo,” ujar Abdi ketus kepada Farhan yang tadi
memanggilnya. Sementara Bagus di samping Farhan belum bersuara, tapi wajahnya
tampak berapi-api.
“Fajar dirawat di rumah sakit, Mas. Dia
ngedrop setelah kemarin datang ke sidangku. Mas Abdi tolong banget jengukin
Fajar ya? Kita sama sekali nggak minta uangnya Mas Abdi sepeser pun, tapi Fajar
yang minta Mas Abdi buat jenguk.” Farhan berusaha selembut mungkin untuk
membuka suara di depan laki-laki yang satu tahun lebih tua darinya itu. “Yakin
lo pada? Bukannya kalian cuma butuh duit gue buat ngobatin si sakit-sakitan
itu?” Dulu sebelum Farhan bekerja, ia memang sempat meminta—tepatnya meminjam
uang kepada Abdi untuk biaya pengobatan Fajar. Tapi itu dulu, jujur Farhan
marah dan tersinggung karena Abdi selalu membahasnya.
‘PLAK’
Suara tamparan yang sangat keras
menggema. Farhan terkejut, lebih-lebih ketika melihat itu adalah tamparan dari
Bagus yang ditujukan pada Abdi. Farhan dari tadi sudah berusaha meminta Bagus
untuk menahan emosinya. Tapi ternyata tidak bisa. Bagus sangat emosi ketika
mendengar respon dari Abdi. Tidak hanya Bagus, Farhan juga tetapi ia masih bisa
mengontrol emosinya. “Lo kalo nggak bersedia buat datang ya udah bilang nggak
bersedia aja, jangan malah lo ngomong macam-macam dan ngungkit masa lalu. Kalo
nggak Fajar yang minta, nggak sudi gue nemuin lo. Gue juga nggak sudi mengakui
lo sebagai kakak gue. Saudara gue cuma Mas Farhan dan Fajar,” ucap Bagus
sembari mengacungkan telunjuk kanannya tepat di depan wajah Abdi. Sementara
Farhan terus berusaha menenangkan adiknya.
“Gue juga nggak sudi tuh. Mending
jadi anak tunggal dibanding punya adik nggak berguna kayak kalian,” balas Abdi
sembari memegangi pipinya yang terasa sakit karena Bagus menamparnya begitu
keras. Bagus berancang-ancang akan memukul Abdi, tapi untungnya Farham berhasil
menahannya. Farhan memang tidak suka keributan, jadi dia selalu ingin
berhadapan dengan Abdi tanpa ada baku hantam. Meskipun tetap saja hatinya
hancur mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut Abdi. “Ya sudah kalau
begitu. Terima kasih dan maaf karena kita bikin ribut di sini, Mas Abdi.”
“Orang kayak dia nggak pantas diberi
maaf dan terima kasih, Mas,” ucap Bagus kemudian berlalu begitu saja. Mungkin
sudah muak. Ia juga tak bisa memarahi Farhan yang telah membuatnya gagal memukul
Abdi. “Udah sana pergi aja lo, gue nggak suka lihat wajah lo lama-lama.” Farhan
pun hanya bisa tersenyum kecut kemudian melangkah pergi menyusul Bagus.
Sementara Abdi hanya memandanginya dengan tatapan elang. Abdi menghela nafas
panjang. Ketika Farhan dan Bagus sudah menghilang dari pandangannya, ia pun
menelpon seseorang. “Halo, Gung? Biaya administrasi aman kan? Jangan lupa
temuin anaknya, sekalian hibur mereka.”
///
Meninggal di hari Jum’at menurut islam
merupakan salah satu ciri seorang muslim yang meninggal dunia dalam keadaan husnul
khatimah. Orang yang meninggal di hari Jum’at juga dipercayai adalah
orang-orang yang baik, mulia, dan pilihan Allah. Farhan, Bagus, dan ibu mereka
hanya bisa berdo’a yang terbaik, meskipun mereka berharap kenyataan pahit yang
baru menimpa mereka hanyalah mimpi buruk semata. Fajar, orang tersayang mereka
menghembuskan nafas terakhirnya pagi tadi tepat di Hari Jum’at. Mereka bertiga
tentu sangat terpukul dan masih sulit menerima kenyataan. Fajar baru saja
dimakamkan, tapi mereka bertiga belum ada yang meninggalkan makam Fajar. Untuk pertama
kalinya mereka bertiga sama-sama menangis tersedu-sedu.
Sementara tidak jauh dari lokasi
pemakaman, terdapat satu mobil mewah yang dari tadi berhenti di sana. Di
dalamnya terdapat tiga laki-laki, satu di antaranya menatap ke arah pemakaman tetapi
dengan pandangan kosong dan mata memerah. “Di, lo beneran nggak mau ke sana?” Walaupun
sudah tahu respon Abdi bakal bagaimana, tapi Agung tetap menanyakannya. “Di,
kalo lo mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan terus dari tadi,” ujar Agung
kemudian.
“Hasil dari limit di tak hingga ada
bermacam-macam, jika hasil tersebut merepresentasikan anggapan orang lain
mengenai diri lo sedangkan variabel yang mendekati tak hingga adalah rasa
sayang lo ke mereka dan fungsi yang dilimitkan adalah sikap yang lo tunjukkan,
kenapa lo selalu memilih fungsi yang malah menghasilkan nilai negatif?” Atensi
Abdi akhirnya teralihkan ketika Adit membuka suara. Abdi tentu masih ingat,
rentetan kalimat itu hampir sama dengan yang Widya katakan kepadanya tempo
hari. Sebelum Abdi merespon Adit terburu membuka suara kembali, “ini waktu yang
tepat. Lo harus bisa menunjukkan ke mereka kalau lo masih sayang dan peduli
sama mereka bahkan sampai tak hingga. Lo udah kehilangan Fajar, seenggaknya lo
masih bisa bersikap baik ke Farhan dan Bagus.” Entah sejak kapan air mata Abdi
menetes, buru-buru ia usapi. “Gung, ayo pulang!” perintah Abdi pada Agung yang
kebetulan menjadi supir kali ini. Adit berdecak sebal karena merasa ucapannya
tak digubris oleh Abdi. “Tapi—” Agung ingin menolak, tapi tatapan elang Abdi
begitu menyeramkan. “Biarin dah, Gung. Temen lo itu emang nggak punya perasaan,”
ujar Adit.
Sementara pikiran Abdi tengah
melayang kemana-mana. Jujur dari lubuk hati terdalamnya, ia ingin menemui adik-adiknya,
bahkan menjenguk Fajar di sisa-sisa terakhir hidupnya. Tapi bayang-bayang ancaman
dari ibunya selalu menghantuinya. Terlalu panjang untuk diceritakan, intinya
ibunya—serta mendiang neneknya selalu melarang Abdi untuk berinteraksi dengan
adik-adiknya. Sampai-sampai mereka menyewa mata-mata hanya untuk memantau Abdi.
Masalahnya jika Abdi sampai ketahuan masih berhubungan dengan adik-adiknya,
ibunya tak segan-segan menyewa orang untuk menyakiti mereka. Oleh karenanya,
Abdi selalu memasang topeng dan berpura-pura membenci adik-adiknya meskipun hatinya
selalu tersayat ketika melihat wajah mereka. Mungkin setelah ini mata-mata yang
disewa ibunya akan melaporkan Abdi yang tampak di sekeliling pemakaman Fajar.
Abdi hanya bisa berharap semoga ibunya tidak akan berbuat macam-macam.
Abdi memang tidak sepenuhnya
membenci Farhan, Fajar, dan Bagus, meskipun sisi lain hatinya masih tetap
membenci mereka. Mendiang neneknya mungkin terlalu pandai menghasutnya sehingga
Abdi tetap berpikir bahwa kehancuran keluarganya saat ia masih kecil dahulu
salah ibu kandung para adiknya. Tapi Abdi sebenarnya selalu merindukan
adik-adiknya. Dulu waktu masih awal-awal pindah ke rumah megah milik neneknya, ia sempat meminta izin kepada neneknya untuk
menemui adik-adiknya, namun neneknya langsung murka. Mungkin sejak itulah
neneknya—serta ibunya menyewa mata-mata. Abdi ingin melawan, tapi jujur ia tak
bisa. Ia tak kuasa. Sepeninggal neneknya ibunya Abdi membujuknya untuk ikut
tinggal dengan beliau di luar negeri, tapi langsung Abdi tolak. Alasan kepada
ibunya adalah ia ingin mengelola bisnis neneknya di Indonesia dan tidak nyaman dengan
keluarga baru ibunya, sementara alasan yang sebenarnya adalah ia tidak ingin
terpisah jauh dari adik-adiknya.
Tapi sebenarnya percuma. Abdi hanya
bisa memandang mereka dari jauh dan bersikap angkuh di hadapan mereka. Namun
Abdi diam-diam telah membantu mereka dari segi materiil. Meskipun tak
sepenuhnya, gaji dan biaya kuliah mereka diam-diam separuhnya Abdi yang
menanggung melalui perantara Agung dan keluarganya. Agung sebenarnya sempat
menolak karena keluarganya memang ikhlas memberi gaji dan menguliahkan
adik-adiknya Abdi. Agung pun juga bertanya kenapa tidak diberikan secara
langsung. Namun Abdi tak pernah menjawab dan terus memaksa Agung. Mau tak mau
Agung menyetujui, apalagi setelah Abdi menatapnya dengan tatapan elang
andalannya. Abdi bersyukur karena adik-adiknya bekerja dengan keluarga
sahabatnya yang ia akui selalu memperlakukan orang dengan baik. Abdi juga
sedikit lega karena setidaknya ia bisa membantu mereka, meskipun Abdi tahu uang
bukanlah segalanya.
Abdi tidak tahu akan sampai kapan
kehidupannya seperti ini. Ia tidak tahu akan sampai kapan ia harus berpura-pura
membenci adik-adiknya yang sekarang tinggal dua. Benar kata Widya, Abdi telah
membangun limit atau batas yang setinggi itu mungkin panjangnya setara tak
hingga—tapi bukan sepenuhnya Abdi yang membangun, ibu dan neneknya yang telah
berkontribusi banyak. Ia pun menghela nafas panjang kemudian memandang jalanan.
Selamat jalan,
Fajar. Maafkan Mas Abdi. Maafkan Mas Abdi juga, Farhan dan Bagus. Maaf belum
bisa menjadi kakak yang baik untuk kalian. Mas Abdi sayang kalian, sayang
sekali, bahkan sampai sebesar tak hingga.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar