Himpitan belenggu akademis yang terus mencekik pasti memaksa kita untuk melepaskan penat barang sejenak. Sekedar berlari-lari kecil atau “mencari angin” tentunya pasti akan sangat membantu. Lelahnya hati kita mungkin dapat sedikit terobati ketika kita mencoba untuk melihat hal-hal yang baru atau menarik di hati, tentunya hal ini akan dapat sedikit mengalihkan perhatian dari jerat beban hidup. Selain dapat mengembalikan stamina otak yang terkuras, hal tersebut mungkin dapat membuka hati kita bahwa masih ada begitu banyak kehidupan lain yang jarang tersentuh di benak kita, di sebuah warung kecil di Jalan Mastrip misalnya.
Sepintas memang tak ada yang istimewa dari warung sederhana di samping Jembatan Mastrip itu, kesan tua yang menandakan kebersahajaan juga melekat di sana, pemandangan yang lumrah untuk warung kumuh PKL (Pedagang Kaki Lima). Namun pikiran itu akan terpatahkan seketika ketika kita sedikit menyelami kehidupan penjualnya, Mbah Arifin, begitu beliau akrab disapa. Lelaki tua itu memiliki sesuatu yang sedikit istimewa di dalam dirinya.
Kakek kelahiran tahun 1922 ini masih mampu menguasai enam bahasa yang pernah digunakan saat remaja dan juga mampu mengingat kejadian-kejadian masa lalunya, berkebalikan dengan banyak orang seumurannya.
Dengan keistimewaan yang dimiliki oleh Mbah Arifin di usia senjanya, beliau begitu lugas ketika ditanya tentang kehidupan masa lalunya. Tak pernah beliau mengatakan ‘saya sudah lupa’ seperti yang biasa dikatakan oleh kakek-kakek seumurannya.
Walaupun Mbah Arifin hanya pernah merasakan nikmatnya bangku sekolah sampai kelas IV Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar), tapi apa yang dimiliki oleh beliau begitu istimewa. Bagaimana tidak, usianya yang sudah hampir kepala sembilan, Beliau masih dapat berbicara menggunakan enam bahasa yaitu: Madura, Jawa, Bali, Indonesia, Arab, dan Cina.
Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-harinya sejak kecil. Hingga sampai saat ini masih dapat digunakan dengan baik. Bahasa Jawa dipelajari saat beliau bekerja menjadi tukang kebun di kawasan militer di Lumajang. Sedangkan Bahasa Bali beliau kuasai saat bekerja di Pulau Bali menjadi mandor kuli bangunan selama sembilan tahun.
Hal yang cukup unik, ketika beragam bahasa telah beliau kuasai, ternyata Bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa terpopuler di Negeri kita baru dikuasainya akhir-akhir ini saja, saat beliau membuka warung di Jalan Mastrip. Tapi dengan cepatnya Mbah Arifin menguasai Bahasa Indonesia karena mendapat dukungan dari lingkungan sekitar.
“Ya, karena banyak anak kampus yang pake Bahasa Indonesia waktu beli-beli di sini mangkanya saya cepet bisa ngomong lancar”, ujar beliau. Mbah Arifin juga dapat berbicara dengan Bahasa Arab, karena beliau pernah berada di pondok pesantren selama 3,5 tahun. Mbah Arifin masih dapat berbicara menggunakan Bahasa Arab, meski itu sudah lama sekali tidak digunakan. Beliau ternyata juga bisa menggunakan Bahasa Cina. Bahasa Cina tersebut dipelajarinya saat bekerja di daerah Wirolegi-Jember, karena teman-teman kerjanya saat itu mayoritas orang-orang keturunan Cina.
Hal itu yang membuat beliau berbeda dari manula lainnya, sehingga beliau masih disegani oleh masyarakat sekitar walaupun usianya telah lanjut. Bahkan mahasiswa yang berada di sekitarnya tidak canggung untuk bersenda-gurau dengan beliau. Usianya yang telah lanjut tidak mematahkan semangat Mbah Arifin untuk terus bekerja dan berkarya. Meski penghasilan yang didapat hanya cukup untuk menyambung hidup keluarganya sehari-hari, beliau tetap mensyukuri apa yang telah beliau dapatkan. Beliau tidak pernah mengharapkan yang ‘muluk-muluk’, bisa bernafas sampai saat ini saja sudah membuatnya bahagia.
Masih banyak orang disekitar kita yang dengan segala kesederhanaannya ternyata memiliki beragam keistimewaan. Usia senja yang terus menghantui bukanlah alasan untuk berhenti berkarya dan hidup dengan semangat muda. Lalu apakah kita yang masih muda hanya mau terus berpangku tangan dan memandang rendah orang lain? Potensi itu ada bila kita mau menggali dan mengasahnya. [Ahmad Budi P]
Sepintas memang tak ada yang istimewa dari warung sederhana di samping Jembatan Mastrip itu, kesan tua yang menandakan kebersahajaan juga melekat di sana, pemandangan yang lumrah untuk warung kumuh PKL (Pedagang Kaki Lima). Namun pikiran itu akan terpatahkan seketika ketika kita sedikit menyelami kehidupan penjualnya, Mbah Arifin, begitu beliau akrab disapa. Lelaki tua itu memiliki sesuatu yang sedikit istimewa di dalam dirinya.
Kakek kelahiran tahun 1922 ini masih mampu menguasai enam bahasa yang pernah digunakan saat remaja dan juga mampu mengingat kejadian-kejadian masa lalunya, berkebalikan dengan banyak orang seumurannya.
Dengan keistimewaan yang dimiliki oleh Mbah Arifin di usia senjanya, beliau begitu lugas ketika ditanya tentang kehidupan masa lalunya. Tak pernah beliau mengatakan ‘saya sudah lupa’ seperti yang biasa dikatakan oleh kakek-kakek seumurannya.
Walaupun Mbah Arifin hanya pernah merasakan nikmatnya bangku sekolah sampai kelas IV Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar), tapi apa yang dimiliki oleh beliau begitu istimewa. Bagaimana tidak, usianya yang sudah hampir kepala sembilan, Beliau masih dapat berbicara menggunakan enam bahasa yaitu: Madura, Jawa, Bali, Indonesia, Arab, dan Cina.
Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-harinya sejak kecil. Hingga sampai saat ini masih dapat digunakan dengan baik. Bahasa Jawa dipelajari saat beliau bekerja menjadi tukang kebun di kawasan militer di Lumajang. Sedangkan Bahasa Bali beliau kuasai saat bekerja di Pulau Bali menjadi mandor kuli bangunan selama sembilan tahun.
Hal yang cukup unik, ketika beragam bahasa telah beliau kuasai, ternyata Bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa terpopuler di Negeri kita baru dikuasainya akhir-akhir ini saja, saat beliau membuka warung di Jalan Mastrip. Tapi dengan cepatnya Mbah Arifin menguasai Bahasa Indonesia karena mendapat dukungan dari lingkungan sekitar.
“Ya, karena banyak anak kampus yang pake Bahasa Indonesia waktu beli-beli di sini mangkanya saya cepet bisa ngomong lancar”, ujar beliau. Mbah Arifin juga dapat berbicara dengan Bahasa Arab, karena beliau pernah berada di pondok pesantren selama 3,5 tahun. Mbah Arifin masih dapat berbicara menggunakan Bahasa Arab, meski itu sudah lama sekali tidak digunakan. Beliau ternyata juga bisa menggunakan Bahasa Cina. Bahasa Cina tersebut dipelajarinya saat bekerja di daerah Wirolegi-Jember, karena teman-teman kerjanya saat itu mayoritas orang-orang keturunan Cina.
Hal itu yang membuat beliau berbeda dari manula lainnya, sehingga beliau masih disegani oleh masyarakat sekitar walaupun usianya telah lanjut. Bahkan mahasiswa yang berada di sekitarnya tidak canggung untuk bersenda-gurau dengan beliau. Usianya yang telah lanjut tidak mematahkan semangat Mbah Arifin untuk terus bekerja dan berkarya. Meski penghasilan yang didapat hanya cukup untuk menyambung hidup keluarganya sehari-hari, beliau tetap mensyukuri apa yang telah beliau dapatkan. Beliau tidak pernah mengharapkan yang ‘muluk-muluk’, bisa bernafas sampai saat ini saja sudah membuatnya bahagia.
Masih banyak orang disekitar kita yang dengan segala kesederhanaannya ternyata memiliki beragam keistimewaan. Usia senja yang terus menghantui bukanlah alasan untuk berhenti berkarya dan hidup dengan semangat muda. Lalu apakah kita yang masih muda hanya mau terus berpangku tangan dan memandang rendah orang lain? Potensi itu ada bila kita mau menggali dan mengasahnya. [Ahmad Budi P]
Komentar
Posting Komentar