Beras sudah menjadi nasi, nasi sudah
menjadi bubur dan bubur sudah tak mungkin lagi diubah menjadi beras layaknya
bahan daur ulang. Itulah yang ada dipikiran saya ketika sedang memandang
setengah piring nasi yang sedari tadi
menunggu giliran untuk dikunyah,tetapi
pada akhirnya ditinggalkan begitu saja oleh penikmatnya. Berbicara
masalah makanan, yang ada di otak saya hanyalah nasi yang dapat membuat perut
saya kenyang. Nasi adalah makanan pokok masyarakat Indonesia, bahkan menjadi
salah satu makanan pokok dunia juga. Makanan pokok merupakan makanan utama yang
dikonsumsi secara terus-menerus sebagai suatu kebiasaan turun-temurun serta
mampu mempengaruhi psikis konsumennya, yaitu seperti merasa ada yang kurang
jika belum makan makanan pokok yang biasa dimakannya. Oleh karena itu beras
adalah salah satu bahan pangan utama yang paling sering dicari. Bahan pangan
adalah masalah primer bagi manusia. Tanpa pangan, manusia tidak akan bisa
hidup, karena pangan adalah sumber energi bagi tubuh manusia.
Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun
2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan
atau pembuatan makanan atau minuman. Melihat begitu pentingnya pangan, maka
masalah pangan adalah masalah yang sangat penting untuk diperhatikan. Bahkan
permasalahan pangan sudah menjadi masalah dunia. Beberapa negara yang tergabung
dalam FAO (Food and Agriculture Organization) dalam konverensinya menetapkan
tanggal 16 Oktober sebagai hari pangan seluruh dunia.
Indonesia setiap tahunnya juga
mengadakan peringatan hari pangan sedunia. Melalui peringatan ini, banyak
sekali ekspektasi-ekspektasi yang terlontar dari para petinggi untuk memajukan
pangan Indonesia. Khususnya pangan yang berasal dari sektor pertanian menjadi
sorotan utama yang perlu diperhatikan. Petani Indonesia dituntut produktif guna
memenuhi pangan masyarakat Indonesia. Mereka selalu dituntut produktif,tetapi
kedaulatan petani sendiri sepertinya diacuhkan. Ekspektasi hanyalah ekspektasi
belaka, pasalnya banyak para petani penghasil pangan yang kelaparan. Bagaimana
tidak,hasil panen petani hanya dijual murah, sedangkan biaya pengolahan tanaman
dari mulai menanam hingga panen selalu kian membengkak. Belum lagi kalau hama
mulai menggerogoti setiap jiwa,raga,dan hati bahkan sampai ke akar-akar
tanaman. Untuk membeli obat (pupuk) bagi hamapun rasanya tak sanggup. Hasil penjualan palingan hanya bisa menutupi
modal awal, tidak bisa membayar peluh keringat selama masa perawatan tanaman.
Tidak hanya berhenti di situ saja,
dari hari ke hari lahan pertanian Indonesia kian menyusut. Banyak tikus-tikus
sawah yang berkeliaran tak punya rumah karena rumah mereka beralih fungsi jadi
perumahan. Banyak dari lahan pertanian tergusur oleh perumahan, pusat
perbelanjaan, dan gedung-gedung bertingkat lainnya. Setidaknya ada 50.000
hingga 100.000 hektare lahan pertanian lenyap setiap tahunnya karena alih
fungsi lahan.
Pemerintah Indonesia melakukan langkah
untuk menanggulangi harga bahan pangan yang semakin melonjak harganya.
Penanggulangan pemerintah bukan dengan mempermudah para petani lokal, tetapi
malah mendatangkan barang pangan import dari luar negeri. Mereka mendatangkan
bahan pangan pokok seperti beras yang dapat langsung dijual bebas di pasaran
dengan harga murah. Bagi masyarakat menengah kebawah, mereka lebih memilih
untuk membeli beras yang murah dari pada membeli beras lokal yang kualitasnya
sama bahkan mungkin lebih bagus beras import. Dengan hal tersebut, nasib petani
lokal semakin terpuruk karena kalah saing dengan barang import. Mau tidak mau,
petani menjual hasil panen mereka dengan harga yang lebih murah untuk
mengimbangi barang-barang import. Belum lagi harga pupuk yang kian hari kian
selangit harganya. Menambah deretan penderitaan petani makin lengkap saja. Apa
gunanya mengadakan peringatan hari pangan yang mungkin menghabiskan dana
berjuta-juta dan tidak ada ekspektasi yang terwujud. Seperti kata saya diatas,
ekspektasi hanyalah ekspktasi belaka. Petani saja kelaparan, apalagi kita? Kalau
begini, bagaimana masyarakat Indonesia mau makmur pangannya?.[]
Shofitri-ALPHA
Komentar
Posting Komentar