Reklamasi, Upaya Menenggelamkan Daratan
Menenggelamkan
daratan?
Berbicara
soal reklamasi di warung kopi, saya menjadi teringat ketika saya duduk tegap
dibangku kuliah sambil mendengarkan ceramah dosen. Ceramahnya memang membuat
mengantuk, hanya sedikit saja yang masuk di memori otak saya. Alhamdulillah
masih bisa tersimpan dan teringat sampai saat ini. Archimedes. Yah, Hukum
Archimedes. Hukum yang berbunyi apabila
suatu benda, sebagian atau seluruhnya terbenam dalam fluida, maka benda tersebut akan mendapat gaya tekan
yang mengarah ke atas yang besarnya sama dengan berat zat cair yang dipindakan
oleh bagian benda yang terbenam tersebut. Hukum ini membuat saya berpikir, fluida
diantaranya adalah air, termasuk air sungai, air kolam, air danau air laut,
maupun air hujan. Semua itu berada di tempatnya masing-masing. Lalu bagaimana
kalau dimasukkan batu di dalamnya? Jawabannya adalah sama saja. Air akan
berpindah di tempat yang masih kosong. Misalnya saja ada gelas yang berisi air
penuh, kemudian saya masukkan satu sendok bubuk kopi dan sejimpit gula pasir,
apa yang terjadi? Air akan tumpah ruah meluber, mengalir kemana-mana membasahi
taplak meja yang tidak salah apa-apa.
Kasus
tersebut identik dengan reklamasi. Reklamasi merupakan kegiatan membuat daratan
didasar perairan dengan melakukan pengurugan. Kata pengurugan di sini sudah
pasti menggunakan zat padat, bisa itu tanah, batu, pasir, kerikil, timbunan
sampah, atau barang-barang padat lainnya. Bahan-bahan ini akan mengurangi jatah
wadah air berada. Maksudnya wadah itu adalah kolam, danau, teluk, samudra,
bahkan atmosfer.
Proyek
reklamasi di dunia sudah umum dilakukan, seperti di Negara Belanda, Hongkong,
Singapura, Australia dan Dubai. Indonesia pun sekarang mulai ikut-ikutan
mereklamasi pantainya yang kian meresahkan. Nampaknya anugerah tuhan Yang Maha
Pemurah berupa pulau-pulau yang katanya sambung-menyambung menjadi satu itulah
Indonesia masih kurang. Pantai-pantai sebagai baskom penampung air laut masih saja
diurug dengan galian dari pulau yang indah ini. Reklamasi di Indonesia antara lain dilakukan di Teluk Benoa Bali,
Teluk Jakarta, dan Pantai Losari Makasar.
Sekarang tinggal dihitung saja, berapa hektar laut yang diurug? Berapa meter
kedalaman laut tersebut? Berapa banyak volume air yang butuh tumpangan gratis
di tempat lain? Mau tidak mau, air laut akan naik ke daratan. Saat ini mungkin hanya
satu centimeter saja ia naik. Lama-lama akan menotok pintu rumah nelayan minta
menginap di sana untuk waktu yang lama.
Perlu
diingat bahwa jumlah air di bumi itu tetap. Jumlah total yang ada di lautan,
daratan, dan di udara tidak pernah berubah hingga hari kiamat nanti. Mau yang
bentuknya cair, padat gas, tawar, asin, kecut, pahit, bening, coklat, hitam,
kuning, wangi, atau yang berbau seperti kasut pejabat DPR pun sama saja. Air
tidak bisa berkurang atau habis, tetapi hanya berpindah tempat. Kalau reklamasi
terus dibolehkan, diijinkan, dilegalkan, dibiarkan, dihalalkan lama-lama
kepulauan seribu yang berjajar-jajar itu akan tenggelam satu per satu. Apalagi,
saya pernah mendengar kabar bahwa gunung es di kutub Utara dan Selatan mulai
mencair gara-gara bumi yang semakin panas dan pedas. Pedas karena persaingan
mencari kemenarikan wisata reklamasi. Kalau seperti itu, daratan hasil
reklamasi pun, hotel yang ditancapkan di sana pun bisa jadi akan tenggelam.
Lalu
bagaimana kalau pulau ini sedikit demi sedikit tertenggelamkan? Orang-orang di
tepian pantai akan mencari perlindungan. Mereka akan melakukan migrasi ke
daerah yang lebih tinggi yang sekiranya tidak ditelan samudra, bisa jadi gumuk,
atau gunung. Tapi bagaimana bisa ngungsi ke gumuk kalau gumuknya dipindah ke
laut. Maksudnya digali, diambil batunya, dikeruk tanahnya untuk mereklamasi pantai.
Mungkin ini sangat terlalu mustahil imajinasi saya, tapi saya bisa pastikan
suatu saat nanti pada generasi ke tujuh kali sepuluh pangkat n akan benar-benar
seperti itu kejadiannya kalau reklamasi masih menjadi hobi manusia.[]
Ihsan Fadli - ALPHA
Foto: Fadli-ALPHA |
Komentar
Posting Komentar