Oleh : Risa Charisatin Nisa' - ALPHA
Langit hari ini berwajah mendung,
kulihat mereka duduk santai di teras rumah tua
berwarna coklat, yang sebagian besar rumah itu terbuat dari kayu. Mataku
berhenti sepersekian detik setiap aku berjumpa mereka. Dari kejauhan kulihat
mata mereka melirak-lirik kekanan-kiri entah apa yang mereka saksikan, air liur
menetes seperti bayi yang habis makan sambal. Terkadang aku merasa jijik, jijik
sekali.
Dua tahun sudah aku menonton
pemandangan itu setiap berangkat kuliah, sejak aku masih menjadi maba(mahasiswa
baru) sampai sekarang sudah semester empat. Aku tiba-tiba seperti dirasuki
arwah seorang detektif. Dan ini terkesan alay, aku tau itu.
“Ih, mereka idiot ya?”
“Iya, baru tau?”
“ Kasian banget, mereka berdua kembar
terus sama-sama idiot gitu?”
“ Hush jangan keras-keras lah Sa!”
“ Loh itukan Taskia, rumahnya
disitu? Mereka bertiga serumah dong?”
“ Iya, orang tua kedua manusia luar
biasa itu atau kakek-neneknya Taskia udah lama meninggal dan yang merawat sekarang ayah-ibunya Taskia.”
“ Kok aku baru tahu ya kalau itu
ternyata rumahnya Taskia, padahal dua tahun aku tiap berangkat kuliah selalu
lewat sini.”
“ Kamu sih naik sepedanya mikirin
Mas Hendra terus, jadi semua yang kamu lihat wajahnya mirip Mas Hendra, hhhh.”
“ Gak lucu tau!”
Ratna adalah teman kuliahku yang kebetulan tetangga si
idiot itu.
Sepertinya ada yang berbeda. Pagi
ini aku tak menjumpai salah satu dari mereka. Besoknya aku lihat rumah tua itu
ramai kerumunan orang. Aku kira mungkin ada hajatan atau apalah. Keesokan
harinya kulihat hanya ada satu orang idiot di teras rumah tua itu. "Kemana
kembaranya?" Batinku. Aku pura-pura mampir di rumah Ratna, sengaja untuk
meminjam buku catatan dan mungkin masih ada tujuan lain juga.
“Rat,
barengan yuk. Aku tunggu diteras ya?" Teriakku dari ruang tamunya.
“okey.”
Diam-diam kuamati
si idiot itu. Merasa kasihan, kulihat dia menangis tersedu-sedu dan bajunya
yang acak-acakan tak karuan. Tiba-tiba darahku mengalir lebih cepat. Aku
merasakan iba kepada orang itu.
“Hey,
ngliatin apa kamu Sa? Kamu suka sama si Dian orang idiot itu? Jangan sampai
deh, kamu kan cantik, masak suka sama yang gituan.” Ratna mengagetkanku dan
menarikku supaya bergegas mengayuh sepeda . Kebetulan kami pecinta bersepeda,
sehingga pulang pergi kuliah naik sepeda buatan China yang harganya masih
relatif murah.
“ Ngawur kamu, ya
nggak mungkin lah aku suka sama pemuda gituan. Lagipula kan aku punya selera.”
“ Bagus deh kalau
gitu, kasihan dia sekarang sendirian.”
“ Loh, kenapa
memang?”
“ Tuh kan kepo.”
“ Enggak! (Marah)”
“
Iya gini aku ceritain, beberapa hari yang lalu
itu saudara kembarnya si Dian meninggal, namanya Dani. Udah tau kan? Nah
dia meninggal muntaber gitu sih kata ayahnya Taskia, muntah darah juga katanya.
Ya kurang tau sih, mendadak gitu soalnya. Kasihan banget kondisi keluarganya
Taskia, udah ayahnya harus ngurus dua orang kurang normal itu ditambah lagi
harus menyekolahkan ketiga anaknya, udah kerjanya Cuma tukang bangunan. Gak
bisa ngebayangin deh gimana susahnya hidup mereka. ”
“ Yakin si Dani
meninggal karena sakit?”
“ Iihh kamu apaan
sih, iyalah ayahnya Taskia yang bilang!”
Percakapan
berakhir. Dalam benakku masih tersimpan berjuta tanya. Benar-benar kematian
yang mendadak. Sekarang tiap lewat rumah tua itu aku hanya seperti menyaksikan
bagian separuh dari potongan hati. Aku harap bagian hati yang lain diterima di
sisi Nya.
***
Hari
mendekati magrib, hujan belum juga reda. Menunggu Sang Rahmat berakhir akhirnya
secangkir teh dan beberapa ubi goreng menemani aku dan Ratna di teras rumahnya.
Sesekali aku melihat kearah rumah tua itu yang kelihatan jelas dari tempatku
duduk. Suasana rumahnya begitu sepi, rumput ilalang tumbuh bebas di halaman
rumahnya yang tidak terlalu luas. Aku juga tidak pernah melihat Taskia muncul
dari pintu cokelat itu lagi. Hujan semakin deras, kilat menyambar tak beraturan
diatas langit. Ratna akhirnya mengajakku menginap dirumahnya, dia pamit masuk
untuk mandi terlebih dahulu.
Tiba-tiba
si idiot Dian keluar dari balik pintu, dia tergopoh-gopoh lari dengan badanya
yang kurus seperti tulang terbungkus kulit. Kulihat dia tengah kebingungan
ditengah derasnya hujan, dia menangis seperti balita lima tahunan yang baru
saja kehilangan boneka. Aku bingung, ingin aku menghampirinya dan bertanya “Apa
yang terjadi?”, tapi langkahku tertahan oleh petir dan derasnya air hujan.
Akhirnya rasa penasaranku lebih kuat daripada ketakutanku. Aku hampiri si idiot
itu, aku mengajaknya berteduh, dia sangat rewel, akhirnya terpaksa agak kutarik
tanganya. Ratna masih belum datang, aku memfokuskan perhatianku kepada si idiot
Dian. Kuberi dia teh yang masih lumayan banyak milikkku, wajahnya seperti tikus
habis dikejar kucing. Beberapa menit
kemudian wajahnya mulai tenang. Dia mulai menatap mataku dan tanganya menunjuk
ke arah rumah tua itu, sepertinya dia ingin bercerita.
“Dia
meracu..cu..cu..ni Dani.”
“Maksudmu?”
“Kakakku
yang membu..bu..bu..nuh kembaranku, Kakak dimana kembaranku? Hu..hu..hu..”
“ Apa?
Gila nih orang, “ ucapku dalam hati.
Lalu dia menangis
tersedu-sedu, aku kebingungan. Kusuruh saja dia duduk dengan tenang, aku
bergegas memanggil Ratna. Beberapa menit kemudian. Di teras depan rumah, aku
tak melihat lagi si Dian, aku makin kebingungan. Cepat-cepat aku menuju rumah
tua milik Taskia itu, dan mengadukanya kepada orang tua Taskia yang adalah
kakak kandung Dian.
“Dian
hilang!"
“ Mbak
ini siapa ya?” Tanya ayah Taskia.
“Itu
tidak terlalu penting pak, sekarang ayo mari kita cari Dian,” ucapku
tergopoh-gopoh.
“
Mencari kemana?”
“ Saya
belum tau pak, maka dari itu ayo segera kita cari!”
Bau malam menyentuh udara jalanan,
aku dan Ratna masih mengayuh sepeda menyusuri jalanan kota. Ratna terlihat semakin lelah karena hari ini
kegiatan di kampus full. Dia merengek-rengek minta pulang, akhirnya kuturuti
permintaannya.
***
Keesokan
hari, embun masih menutupi daun-daun di sekitar tempat tinggal Ratna. Ratna
masih tertidur pulas. Aku membuka jendela kamarnya. Pagi begitu seperti surga,
aku keluar menghirup udara segar selepas subuh menjelma. Terlihat ramai sekali
suasana rumah tua tempat Taskia dan Dian tinggal. Aku berjalan menuju rumah
itu, kulihat Taskia menangis tersedu-sedu, kujumpai juga segerombolan polisi
sigap dihalaman rumahnya. Bendera hitam mengembang menandakan kedukaan.
“Siapa pak yang
meninggal?”
“Itu mbak, si Dian
meninggal tadi malam, dugaanya dia dibunuh di tepi jalan, polisi masih
menyelidiki kasusnya.”
Sepertinya aku tau
siapa pelakunya........
SEKIAN J
Komentar
Posting Komentar